The Hunger Games : Mockingjay Part II (2015) : Gratitude for Jennifer Lawrence, May The Odd Be Ever in Its Favor

Director : Francis Lawrence

Writer : Peter Craig (screenplay), Danny Strong (screenplay)

Cast : Jennifer Lawrence, Josh Hutcherson, Liam Hemsworth, Julianne Moore

(REVIEW) Saat membaca The Hunger Games terbesit pikiran “Wow, ini Battle Royale versi dunia Barat, tapi bolehlah.”, ketika membaca Catching Fire terbesit pikiran, “Tak disangka buah beri bisa membawa komplikasi sepintar ini.”, dan ketika membaca Mockingjay (setelah menonton dua buku sebelumnya telah difilmkan) yang ada di pikiran adalah “Suzanne Collins sepertinya tak menyangka buku-bukunya akan menjadi sebesar ini.” Mockingjay memang menjadi buku terlemah dari seri ini. Menjadi buku konklusi dengan beban berat, Mockingjay sepertinya ingin menyimpulkan banyak hal dengan cara memperbesar universe­-nya lewat District 13, menggunakannya, namun tanpa memberikan pembaca untuk mengenalnya. Belum lagi ditambah dengan klimaks konflik cinta segitiga yang sampai tahap klimaks dan penambahan sejumlah karakter baru yang menonaktifkan karakter lama, Mockingjay adalah kekecewaan.

Mengantongi satu nominasi lewat Winter’s Bone saat itu tak membuat Jennifer Lawrence memiliki star power dibandingkan kandidat lainnya saat itu dan keputusan tepat diambil Lionsgate. Trilogi Hunger Games memang semuannya tentang Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence), trilogy ini benar-benar memberikan kesempatan transformasi bagaimana seseorang tanpa konsep “The Choosen One” seperti konsep young adult pada umumnya, bisa merubah dari seseorang yang hanya ingin menyelamatkan adiknya saat proses reaping menjadi sebuah perlambangan penuh sisi kharismatik, ketidakberdayaan atas kondisi, dan rasa bersalah. Dengan harapan yang terburu naik dari Catching Fire sementara sisa peluru yang tersisa adalah yang terlemah, baik Mockingjay Part I dan II merupakan sedikit peningkatan hasil, dan seri ini harus sangat berterimakasih kepada bakat Jennifer Lawrence.

Sedikit rekap untuk mengingatkan, Mockingjay Part I adalah penggambaran politik tanpa permainan cirri khas Hunger Games itu sendiri. Penuh dengan propaganda lewat media, strategi politik dan perang, salah satunya lewat proses penyiksaan yang dilakukan Capitol terhadap Peeta Mellark (Josh Hutcherson) untuk membunuh Katniss Everdeen dari dalam. Disitulah bagian pertama berhenti. Ketika Peeta Mellark mulai bisa dikendalikan dan tim perang mulai terhimpun, Mockingjay Part Ii mulai menggeser arena games berupa Capitol itu sendiri, dengan misi terakhir Katniss Everdeen : membunuh president Snow dengan ujung panahnya, yang terus diperumit dengan hadirnya President Alma Coin (Julianne Moore) yang sepertinya memiliki agenda tersendiri.

Francis Lawrence yang memiliki reputasi biasa sebelum The Hunger Games memang mengejutkan kita lewat Catching Fire. Dengan kombinasi skrip yang padat dari Simon Beaufoy dan permainan action yang ditampilkan secara solid, Lawrence kembali terseok-seok melakukan transisi politik ke total perang dengan script yang tak sempurna dari Danny Strong. Awal film merupakan titik draggy yang membuat film ini membosankan tanpa momen penting kecuali benar-benar menerjunkan Katniss ke medan perang. Mockingjay Part II sesungguhnya tak memiliki materi apa-apa kecuali Katniss yang berusaha menyatukan semua district dan gejolak emosinya melihat kondisi Peeta Mellark yang terlalu terkontrol. Satu-satunya momen yang cukup memberikan sisi menghibur tajamnya adalah saat Johanna Mason lewat penampilan singkat Jena Malone bisa menyesuaikan dengan caliber akting Jennifer Lawrence.

“Welcome to the 76th Hunger Games”, kata Finnick Odair (Sam Claflin) adalah kalimat yang akhirnya terdengar penonton setelah menunggu cukup lama. Tak ada lagi tribute untuk dibunuh, kini tim Katniss lengkap dengan Gale (Liam Hemsworth), Peeta Mellark, Cressida (Natalie Dormer) harus menyisir capitol yang telah dipenuhi dengan pod jebakan mematikan untuk menghambat para pemberontak dari seluruh distrik untuk menyerang. Inilah makanan Francis Lawrence sehari-hari. Mockingjay Part I memenuhi rasa blockbuster-nya dengan jebakan minyak hitam yang menenggelamkan, flamethrower siap membakar, tembakan dan ranjau namun aksi mencapai titik puncak adrenalin lewat lorong-lorong gelap saluran air dengan makhluk mutan yang mendengungkan kata “Katniss” untuk diburu. Sayangnya, Peter Craig yang didatangkan untuk membantu Danny Strong sepertinya tak bisa mengubah serangkaian aksi menjadi tak lebih dari serangkaian aksi yang generic, padahal semua bahan-bahan ada disana.

Dengan formula yang hampir sama, Mockingjay Part II memiliki sisi-sisi permainan yang absen. Pertama, kurangnya counterpart dari Capitol (dalam installment pertama dan kedua, masalah ini diatasi dengan baik lewat sosok gamemaker Serena Crane dan Plutarch Heavensbee) kali ini benar-benar mengguncang perang yang semakin menunjukkan ketidakimbangan sekaligus kecerobohan Capitol yang sesungguhnya tak perlu ditujukkan pada momen besar seperti ini (beberapa kali Snow mengira telah mati, really ?). Kedua, film ini tidak berubah dari segi pertumpahan darah. Banyak deathscene dari berbagai karakter tapi tak ada satupun yang bisa dikemas dengan memorable seperti yang dilakukan Katniss dengan Rue, atau yang dilakukan Peeta dengan pecandu morpling lewat momen matahari terbitnya, hal ini semakin menekankan film memang seharusnya mampu bisa berimprovisasi dari sekedar kata di buku. Ketiga, dan yang paling fatal adalah, dari film pertama sampai kedua, Hunger Games selalu menjadi global event (baca Panem) untuk mengubah negeri mereka. Absennya keterlibatan mereka karena film terlalu berpusat pada perspektif Katniss membuat dampak film menjadi menciut, dimanakah perjuangan distrik lain yang dihimpun di awal film ?

Disamping semua kekurangannya, kembali lagi Jennifer Lawrence mampu memproduksi banyak momen powerful yang semakin mengakumulasi kondisinya ketika korban mulai berjatuhan, selain ia semakin mantap mengangkat busur panahnya. Lewat permainan “Real or not ?”- dengan Peeta Mellark, Lawrence juga menghasilkan momen manis tanpa harus mengesampingkan bahwa Peeta adalah seseorang yang “masih” berusaha membunuhnya, namun yang membuat keseluruhan film seakan ter-”redeem” adalah jika penonton melihat Mockingjay Part II sebagai keseluruhan trilogi : sebuah perjalanan yang panjang (namun singkat) yang mengubah karakter-karakter ini (termasuk yang paling bisa terlihat adalah Effie Trinket dan Gale Hawthorne) terutama Katniss Everdeen dengan segala yang telah ia lalui, dalam porsi yang pas (even if it seem flat), bagaimana sebuah perang tetap akan melukai, merubah manusia menjadi abu-abu, tak peduli disisi manakah mereka berada. Berkat Jennifer Lawrence, may the odd be ever in its favor (B -)

Leave a comment