Catherine Keener

Begin Again (2014) : OST. in “Repeat All Mode” Playlist Ready, Sweet Surprises in Some Debut Efforts

Director : John Carney

Writer : John Carney

Cast : Keira Knightley, Mark Ruffalo, Adam LevineHailee SteinfeldCatherine Keener

Can a song save us from Keira Knightley’s annoying jaw ? Yes, it can !

(REVIEW) Begin Again memenuhi janjinya dengan soundtrack– nya yang siap dimainkan di playlist dengan REPEAT ALL – mode. Tidak hanya itu, film ini menghadirkan kejutan-kejutan kecil dari debut Keira Knightley dalam bernyanyi, Adam Levine (yes ! Maroon 5’s Adam Levine) dalam berakting, dan impeccably comedic performance dari Mark Ruffalo.

begin_again

Gretta (Keira Knightley) hanya bisa pasrah ketika temannya menodongnya untuk menyanyi di atas panggung bar. Dan, benar, ketika selesai menyanyikan lagunya, hanya terdengar sayup-sayup kecil tepuk tangan dari penonton. Tapi tidak untuk Dan (Mark Ruffalo) – seorang EP yang baru saja dipecat, dengan sensitifannya, Dan sadar bahwa Gretta adalah jawaban masalah pekerjaannya sebagai talent seeker. Dan pun menawari kontrak rekaman, walau Gretta tetap bertahan atas idealismenya. Hingga akhirnya keduanya sadar mereka adalah jawaban satu sama lain untuk me-reset kehidupan mereka yang telah kacau : Gretta dengan masa lalu asmaranya dengan Dave Kohl (Adam Levine) dan Dan dengan kehidupan keluarganya (Catherine Keener, Hailee Steinfeld). Ditambah Gretta dan Dan masih tanpa pekerjaan, in a fucking New York.

(more…)

Enough Said (2013) : Kind Of Grown Up “Sister Before Masseuse” – Divorcees’ Love Story

Director : Nicole Holofcener

Writer : Nicole Holofcener

Cast : Julia Louis-Dreyfus, James Gandolfini, Catherine Keener, Toni Collette, Ben Falcone

About

Pernahkan kita melihat “cool parent” di sebuah film ? Let’s say Stanley Tucci in Easy A, or Patricia Clarkson di Friends with Benefit ? HAH ! Juno’s parent ? Yeah, this movie is about “cool parent”, kind of.

Seorang pemijat profesional, Eva (Julia Louis-Dreyfus) menghadapi situasi yang rumit ketika anaknya akan pergi kuliah dan meninggalkan rumah. Suatu malam, ia menghadiri pesta dengan teman-temannya (Toni Collette, Ben Falcon) dan bertemu dengan penulis puisi terkenal yang telah menerbitkan buku, Marianne (Catherine Keener), dan juga seorang pria paruh baya dengan penampilan tidak meyakinkan, gendut, botak, Albert (James Gandolfini). Seiring berjalannya waktu hubungan antara Eva dan Marianne semakin akrab dan semakin baik, Mariane pun sering bercerita tentang peringai negatif mantan suaminya. Eva juga menjalin hubungan dengan Albert yang semakin serius karena mereka memiliki persamaan yaitu sama-sama telah bercerai dan akan ditinggalkan anak. Masalah datang ketika Eva mengetahui bahwa mantan suami Marianne adalah Albert, pria yang sekarang ia cintai walaupun masih dalam proses keraguan. Serangan “curhatan” Marianne pada Eva tentang mantan suaminya pun merubah perspektif Eva terhadap Albert, siapakah yang akan Eva pilih ? Laki-laki yang ia cintai atau sahabat barunya ?

“Funny, effortlessly.”

Beberapa hari yang lalu sempat melihat film dengan tema yang serupa, cinta yang tidak muda lagi, yaitu Before Midnight. Sama seperti Before Midnight, Enough Said juga menghadirkan middle aged love hanya saja masih berada level observasi pada awal relationship. Berbeda dengan Before Midnight yang lebih melihat sebuah relationship yang telah matang dan butuh diuji.Persamaan lain kedua film ini adalah tentang keadaan insecure dari sebuah relationship, Before Midnight dengan istilah long term-nya, sementara Enough Said lebih dikaitkan pada trauma akan kegagalan masa lalu dari sudut pandang Eva. Bagaimana Eva harus menghadapi Albert yang seratus persen orang asing kemudian ia juga harus membandingkan dengan mantan suaminya yang seperti orang asing membuat Eva banyak diuji tentang kesediannya menjalin hubungan kembali.

Salah satu bahan komedi dari film ini adalah kedua leading role yang secara fisik tidak muda lagi. Namun karena lebih menginginkan sesuatu yang lebih mature, film ini tidak menggunakan jokes kasar secara fisik namun mengubahnya menjadi sebuah issue. Issue yang terkesan simple namun sebenarnya untuk karakter yang “tidak ingin bermain-main lagi dalam suatu hubungan”, issue ini bisa dikatakan menjadi sebuah pertimbangan.

Jika hanya mengandalkan sisi romantis layaknya film-film anak muda, pasti melihat poster filmnya saja, film ini akan membuat penonton sudah meng-underestimated. James Gandolfini ? Really ?, okay Julia Louis Dreyfus ? Really ?. Dengan fisik yang tidak ideal lagi, mereka mampu menciptakan sebuah hubungan yang benar-benar terlihat “click” terutama dengan dialog-dialog natural yang tidak membuat orang terbahak-bahak namun cukup membuat orang tersenyum saja, yeah tersenyum sepanjang durasi film. That is really a good job.

Kredit tersendiri harus disampaikan pada Julia Louis Dreyfus, untuk usianya yang tidak muda lagi, ia tidak bisa membuat ekspresi konyol namun ia bisa memerankan Eva yang mempunyai sisi “awkward”, sisi funny yang khas, yang mempunyai sisi “denial” terhadap apa yang sebenarnya ia inginkan, dan ia mempunyai “timing” untuk membuat sebuah scene menjadi lucu. James Gandolfini juga memberikan sisi “sweet” dan karakter yang bisa dikatakan “open” walaupun sepanjang film ia dijadikan bulan-bulanan perspektif negatif dari karakter Marianne, harus diakui penonton juga akan dibuat ikut-ikutan menge-judge karakter Albert ini.  Catherine Keener juga tampil meyakinkan walaupun sepertinya untuk karakter yang satu ini, Marianne terjebak pada “konsep” seorang penulis puisi yang terlalu, yeah, you know, hmm, hardly to describe, biasa mungkin. Yeah,maksudnya ketika membayangkan seorang penulis puisi, yah karakter Marianne ini yang ada di bayangan kita, kurang adanya kejutan yang bisa dihadirkan. Walaupun Keener ini merupakan salah satu aktris yang bisa dikatakan membuat sebuah “smooth antagonist” lebih mempunyai karakter yang khas disini.

Film ini seperti terbagi dalam dua plot yang keduannya sama-sama penting, yaitu interaksi hubungan antara Eva dan Albert yang menarik, dipengaruhi oleh ke-awkward-an tersendiri, kemudian plot yang kedua, kemudian menambahkan orang ketiga sebagai unsur kejutan yang membuat film ini memiliki konflik yang lain. Inilah yang mungkin selama durasi, film ini terasa segar karena tidak hanya berlarut-larut pada hubungan Eva dan Albert.

Karakter tambahan seperti Toni Collette, Ben Falcon, anak-anak dari Eva dan Albert, merupakan karakter yang sangat menarik. Walaupun hanya sebagai karakter pendukung, setiap karakter ini masih mempunyai subconflict yang membuat karakter ini bertambah menarik. Their performances are not stellar but interesting. Salah satu subconflict yang menarik adalah ketika Eva lebih dekat dengan Chloe, teman dari anak perempuannya. This is awesome relationship between mom and her daughter’s friend.

Susah untuk mereview film ini, Enough Said is enough said, sebuah film yang sangat ringan dibawa oleh kedua aktor-aktrisnya. Just watch it, you’ll know it.

Trivia

Film ini menjadi salah satu film terakhir dari James Gandolfini.

Film ini merupakan kolaborasi sekian kalinya antara sutradara, Nicole Holofcener dan Catherine Keener.

Quote

Eva : I’m tired of being funny.

Captain Phillips (2013) : Dangerous Days at Sea of Hijacking by Somali Pirates and Look Closer on Both Sides

Director : Paul Greengrass

Writer : Billy Ray, Richard Phillips

Cast : Tom HanksBarkhad Abdi, Catherine Keener

About

We have seen Hanks on an island. We have seen Hanks in space. How about terminal ? We have seen it. Jika di tahun lalu, kita melihat Denzel Washington menyelamatkan sebuah pesawat terbang, salah satu film (yang agak mirip) di tahun 2013 yang menjadi contender Oscars juga berhubungan dengan alat transportasi. Yep ! Kapal laut yang dipimpin oleh Captain Phillips.

Captain Richard Phillips sendiri merupakan sosok real yang hidupnya seketika berubah dengan moment krusial saat kapal kargonya dibajak oleh para pirates Somalian pada bulan April 2009. Aksinya sangat mengundang decak kagum, walaupun juga menimbulkan beberapa kontroversi di dalamnya. Empat tahun setelah kejadian tersebut, biopic Captain Phillips pun difilmkan dan tidak tanggung-tanggung, Paul Greengrass (sebelumnya menangangi film seperti Bourne, dan lain-lain) yang memang terkenal sangat jago dalam mengurusi film-film berbau real-life.

Captain Richard Phillips (Tom Hanks) adalah seorang kapten yang sedang mengajari para crew-nya untuk lebih bisa disiplin dengan sisi security untuk menanggapi perairan yang memang belakangan tidak aman. Di hari ia berlayar pada sebuah kapal kargo, ia mendapatkan banyak firasat buruk tentang pembajakan yang sering dilakukan oleh para “nelayan’ Somalian. Benar saja, dua buah kapal mendekati kapalnya dengan kecepatan yang tidak biasa, namun pada saat itu masih dapat ia atasi. Di hari berikutnya, sebuah kapal yang sama dipimpin oleh leader nekat (Barkhad Abdi) kembali mendekati kapalnya, yep tentu saja, mereka berhasil.

Film ini menjadi contenders Oscars terutama untuk sutradara dan juga kualitas acting Tom Hanks (yep, he got two shots this year, maybe his role as Walt Disney will make it too.)

Building up the tension pretty well, shaky camera makes it real, and kind of ironic when tragedy happens in a LIFEboat.

Hanks is convincing and his last punch to the ending, uhm, yeah that’s top notch performance.

Treating Somalian pirates as real characters instead of bad guys “bad guys” makes us care with both side, not only Hanks’.

Film diawali dengan persiapan Captain Phillips dan juga background family darinya, dengan Andrea (Chaterine Keener), yang bisa dikatakan “totally wasted” dan lebih terlihat seperti penampilan cameo (namun mendapatkan credit). Not a really good opening scene.

Penggunaan handheld camera memang sangat terlihat dari pengambilan gambar yang terlihat shaky. Pengambilan gambar seperti ini memang terlihat sangat mengganggu untuk beberapa orang, dan iya, memang sedikit agak menjadi distraksi pada scene-scene awal terutama ketika intensitas adrenalin pada film belum terpompa. Namun seiring berjalannya durasi, dengan intensitas tension yang dibangun perlahan namun pasti, shaky camera ini lebih menggambarkan keadaan real dari peristiwa pembajakan kapal. Jika anda berpikir the main show berada di dalam kapal kargo (seperti yang ditunjukkan pada trailer), hmmm, main show justru terjadi pada saat scene di life-boat yang lebih menunjukkan interaksi intens antara Captain Phillips dan juga para perompak.

Sisi yang menarik dari film ini adalah film ini berhasil menggambarkan dua buah keadaan baik dari sisi Tom Hanks selaku protagonist dan juga dari sisi para perompak yang terdiri dari 4 Somalia bersenjata sebagai antagonistnya. Hanks tentu saja meyakinkan seperti biasa, dengan ketenangan, tanggung jawab dan keterampilannya sebagai kapten ia benar-benar tampil meyakinkan. Penampilannya ini benar-benar ia tampilkan secara berkala sehingga dinamikanya terasa, sebelum ending ia melakukan “last punch” yang benar-benar membuktikan kualitas akting dan dijamin akan menyentuh hati siapapun yang melihatnya.

Aktor antagonist diperlakukan sebagai real character yang mempunyai motive, background hidup yang membuatnya bertambah real, dan penonton juga dibuat peduli dengan karakter antagonist ini. Mereka tidak hanya berperilaku sebagai bad guys yang berkewajiban melakukan perbuatan jahat dalam sebuah film, namun mengapa mereka melakukan perbuatan jahat juga lebih dieksplor. Terkesan elemen terpaksa, putus asa dan juga men-sugesti positif untuk keadaan terdesak yang sedang mereka alami. Aktor antagonist ini benar-benar dapat ditunjukkan oleh leader mereka Barkhad Abdi, menciptakan sebuah karakter yang kompleks di tengah keterbatasannya dalam “menjelaskan karakternya” ke penonton. Disinilah, sebenarnya antagonist sebaiknya dibangun, penonton juga diberikan kesempatan untuk menggali lagi sisi antagonist sebuah film, mengapa mereka melakukan tindakan dan tidak hanya sekedar bang-bang-bang atau tokoh antagonist yang menyeramkan atau eksploitatif namun memiliki karakter kosong.

Proses negosiasi di dalam kargo terbukti lebih efektif dibandingkan dengan moment yang berada di lifeboat. Ketika di dalam kargo, setiap perkataan yang dilontarkan lewat HT merupakan kalimat-kalimat implisit yang menentukan strategi perlawanan terhadap para perompak ini, membuat film ini menjadi film yang tactical dan terlihat pintar. Sementara ketika di dalam lifeboat, terdapat beberapa moment stuck yang membuat regu penyelamat tidak ubahnya seperti penonton dan idiot, dan harus membiarkan Tom Hanks untuk melakukan aksinya sendiri. Namun hal ini dibayar mahal oleh film yang benar-benar memompa adrenalin (I can’t breath) di 20 menit terakhirnya. Dua puluh menit terakhir adalah scene perjuangan yang menggambarkan tidak hanya kemenangan, namun juga sebuah ironi terhadap sebuah realita.  Film ini juga lebih berkonsentrasi pada kronologis peristiwa pembajakan sehingga unsur “family” dari Captain Phillips memang kurang tereksplorasi walaupun tersentuh juga pada bagian akhirnya, namun itu bukanlah hal buruk, film ini memang benar-benar fokus kejadian sehingga tidak terlalu banyak distraksi.

Saking intens-nya, film ini membuat kita lupa bahwa sebenarnya film ini merupakan film biopic yang menceritakan tidak hanya Tom Hanks sebagai tokoh heroic Captain Phillips namun juga cerita dari sisi para perompaknya. Film ini selayaknya menjadi film dokumenter namun lebih menghibur dengan para aktor dan sutradara mumpuni di dalamnya.

Trivia

Disyuting di laut Mediterania.

Quote

Officer : Chances are they’re just fishermen.

Captain Phillips : They’re not here to fish.

The 40 Year Old Virgin (2005) : Pressure for The Guy Who’s Never Done The Deed

Director : Judd Apatow

Writer : Judd Apatow

Cast :  Steve CarellCatherine Keener, Seth Rogen, Paul Rudd, Romany Malco, Elizabeth Banks

About

Judd Apatow, seorang sutradara, produser, juga penulis dan suami dari aktris cantik, Leslie Mann. Karirnya memang tidak jauh dengan genre film komedi dengan bintang-bintang yang selalu jadi andalan. Sebut saja Leslie Mann (tentu saja), Steve Carell, Seth Rogen, Paul Rudd, Jonah Hill, Kristen Wiig, Jason Segel, dan lain-lain. Aktor-aktor yang digandeng oleh Judd Apatow, baik dia selaku sutradara atau hanya produser, terbukti memang menjelma menjadi leading actor dan leading actress yang bisa dikatakan sukses. Salah satunya adalah aktor Steve Carell, walaupun dia kebanyakan memainkan film dengan karakter yang nyaris sama (I gotta say, he’s Jennifer Aniston in male version), tapi banyak peran utama yang telah ia mainkan. Sebut saja yang paling baru, The Incredible Burt Wondertone, atau sebagai Dodge laki-laki yang ditinggal pasangannya di Seeking A Friend for The End of The World, atau sebagai Cal Weaver laki-laki yang ditinggal pasangaannya (lagi) di komedi Crazy Stupid Love. Melihat aktor ini, kita pasti kurang akan mengingat peran kecilnya di komedi Anchorman atau Bruce Almighty.

Film The 40 Year Old Virgin inilah yang menjadi milestone penting dalam perjalanan Steve Carell, bercerita dengan premis yang umum dan sederhana namun juga tabu untuk dibahas. The 40 Year Old Virgin (sebenarnya dari judu filmnya juga sudah ketahuan) menceritakan Andy yang tidak kunjung melakukan intercourse di umurnya yang menginjak kepala empat. Ketika “aibnya” ini diketahui teman sekerjanya (Paul Rudd, Seth Rogen, Romany Malco), mereka langsung mencari segala cara untuk melepaskan keperjakaan sang Andy. Ketika Andy bertemu Trish (Catherine Keener), seorang janda dengan banyak anak dan juga cucu, apakah Trish bisa menerima Andy yang seorang virgin ???

“Oh please somebody, help him ! because he’s doing ridiculous moments, again and again.”

Scene saat Andy di body waxing itu benar-benar EPIC !!! Scene saat Paul Rudd dan Seth Rogen bermain “You Know How I Know You’re Gay” itu juga benar-benar EPIC !!! Scene saat bermain dengan Magnum (Magnum is condom, I don’t know it is a type, product specification, or brand, or whatever) itu benar-benar raja dari segala EPIC. Adegan antara Steve Carell dan Elizabeth Banks as a crazy and sex addicted girl itu benar-benar EPIC !! (I don’t know why I keep saying EPIC, I don’t even know what it means). Film ini secara terus-terusan menampilkan scene-scene yang benar-benar mengocok perut dari awal sampai akhir. Ibarat sebuah permen, film ini adalah film dengan banyak rasa dari tiap adegannya, rasa charming dan sweet dari leading couple-nya, belum lagi nasty and “a little bit of dirty” dari topik sexnya, juga jokes-jokes segar yang keluar dari mulut para castnya yang memang talented gila.

Dari sebuah cerita yang sederhana dan tidak perlu macam-macam, ternyata Judd Apatow yang juga merupakan screenwriter mampu menggali segala sisi dan kemudian menambahkannya dengan jokes yang selayaknya di film komedi, kemudian dipertunjukkan oleh para aktor- aktris dengan improvisasi sana-sini, film menjadi film yang rekomendasi bagi penyuka film komedi.

Di sisi lain, dengan scope cerita yang sudah ketahuan dan terkesan sempit, durasi dari film ini menjadi sedikit kepanjangan karena hanya membahas yang itu-itu saja. Andy mencoba melepas keperjakaannya kemudian gagal, Andy mencoba melepaskan keperjakannya kemudian gagal lagi, ya begitulah tapi dengan jokes sebanyak ituuuuu, this movie is not too long for me, not for me.

Film ini kemudian ditutup dengan sebuah adegan menari dan menyanyi semua cast yang NORAK, tapi keren dan bakalan memorable banget.

Trivia

Adegan body waxing untuk menghilangkan bulu dada Andy (his nipple included) benar-benar dilakukan secara real oleh Steve Carell. What a painful scene !!!!

Quote

David: You know how I know you’re gay ?

Cal: How? Cause you’re gay ? And you can tell who other gay people are?

David: You know how I know you’re gay ?

Cal: How ?

David: You like Coldplay.

Being John Malkovich (1999) : Ever Want to be Someone Else ? Now You Can

Director : Spike Jonze

Screenwriter : Charlie Kaufman

Cast : John CusackCameron DiazCatherine Keener , John Malkovich

“Original screenplay which represents everybody’s common obsession of being somebody else.”

About

Being John Malkovich adalah film komedi fantasi dari duo sutradara Spike Jonze dan penulis Charlie Kaufman sebelum keduannya menggarap Adaptation. Film mendapatkan 3 nominasi Oscar untuk sutradara terbaik, penulis original screenplay terbaik, juga pemeran wanita pendukung terbaik untuk Catherine Keener.

Walaupun mengambil bahan bersifat fantasi, namun cerita dari film ini malah berpusat pada seorang aktor nyata yang telah meraih dua nominasi Oscars, John Malkovich, yang tentu saja menjadi judul dari filmnya. Film ini pada awalnya bercerita sebuah cerita yang biasa saja, seorang puppeter “loser”, Craig (John Cussack) suatu hari bekerja di sebuah perusahaan aneh karena desakan istrinya, Lotte (Cameron Diaz). Craig bertemu dengan rekan sekerjanya dan mulai terobsesi bahkan jatuh cinta dengan wanita berkepribadian kuat, Maxine (Catherine Keener). Cerita mulai menarik ketika Craig tidak sengaja menemukan sebuah lubang misterius yang kemudian ia telusuri ternyata menuju ke lubang pemikiran dari seorang aktor besar John Malkovich. Dengan memasuki lubang ini, seseorang berada dalam pikiran John Malkovich selama 15 menit. Sesuai tagline-nya, “Ever want to be someone else ? Now you can.”, lubang portal ini dijadikan lahan bisnis oleh Maxine dan Craig yang malah menciptakan hubungan super ruwet antara Maxine-Craig-Lotte, dan bahkan John Malkovich sendiri.

It’s not only about fantasy, moreover it is about deep obsession and maybe “love”

Dari segi originalitas, siapa yang akan mengatakan Charlie Kaufman seseorang yang tidak original. Skenarionya untuk film ini sempat ditolak oleh beberapa pihak, namun siapa sangka ketika sang sutradara membaca dan langsung menyukainya, bahkan setuju menyutradarainya,film inilah menjadi gerbang awal untuk film-film besar seperti Adaptation dan Eternal Sunshine of The Spotless Mind.

Ide segar ditambah dengan karakter yang luar biasa, bahkan karakter dari figure nyata John Malkovich menghidupkan film yang memang sangat asing dan aneh ini. Tips untuk menonton film ini adalah jangan terlalu memikirkan secara logika apa yang terjadi dalam film ini. Mengapa ada portal ? Mengapa bisa terbentuk portal ? Mengapa ini ? Mengapa itu ? Bah ! Sekali lagi ini adalah fantasi, jadi nikmati saja, maka akan tahu dimanakah keindahan dari film ini.

Beberapa yang juga menarik perhatian, dengan genre-nya yang comedy, film ini mengandung unsur mistis yang benar-benar dapat dirasakan oleh penonton, dan jujur, sedikit membuat merinding dikombinasikan dengan scoring yang juga mistis. Tidak percaya ? Lihat saja scene-scene terakhir dimana juga hilangnya sisi humanity untuk karakter John Malkovich yang diperlakukan seperti puppet oleh orang-orang di sekitarnya.

Hubungan percintaan segi tiga Maxine-Lotte-Craig juga berhasil dieksplor luar biasa oleh sang penulis. Ketika Lotte masuk ke dalam portal John Malkovich, sebuah definisi baru dari “relationship” juga terbuka dan ini menambah dinamika dalam film yang berhasil membuat penonton menonton film sampai akhir.

Hasil akhirnya, film ini memberikan sebuah fantasi yang benar-benar original dan memberikan sensasi menonton baru yang tidak kalah original.

Trivia

John Cussack, Catherine Keener, dan John Malkovich semuannya membuat cameo untuk duet penulis-sutradara selanjutnya, Adaptation. Yang juga dipuji originalitasnya.

Quote

John Malkovich : There is truth, and there are lies, and art always tells the truth. Even when it’s lying.

Capote (2005) : A Cold Blooded Writer Is Getting Closer to The Killer

Sutradara : Bennett Miller

Penulis : Dan Futterman

Pemain : Philip Seymour Hoffman, Catherine Keener, Clifton Collins Jr.

“Hoffman’s performances with his gesture, the way he talks as a gay book author could be a good enough reason to watch this movie.”

About

In Cold Bold menjadi salah satu buku yang melambungkan nama penulis Amerika, Truman Capote. Buku ini diangkat menjadi film dengan judul yang sama pada tahun 1967. Ternyata, dalam menulis buku ini Capote mempunyai cerita tersendiri dengan narasumber. Cerita Capote dengan Perry Smith diangkat dalam dua film feature sekaligus berjudul Capote dan Infamous. Film berjudul Capote inilah yang mengantarkan Philip Seymour Hoffman menjadi Best Actor dalam Oscar dan nominasi kedua bagi Catherine Keener yang memerankan sahabat Capote yang juga merupakan penulis sepanjang masa, Nelle Harper Lee.

Sebuah keluarga di Kansas dibantai dengan sadis oleh dua orang criminal, Perry Smith dan Richard Hickock. Ketika keduanya berhasil ditangkap, seorang penulis, Truman Capote berminat untuk menuliskan kisahnya dalam bukunya. Untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan, ia melakukan research dengan mendekati kedua pembunuh ini, terutama Perry Smith, yang menurutnya memiliki sifat lain yang perlu ia ketahui. Capote semakin mendalami material bukunya, tanpa sedikit menghiraukan bahwa kedua pembunuh ini mempunyai harapan yang tinggi akan buku Capote. Capote terjebak dalam situasi rumit ketika ia harus menyelesaikan ending buku dengan mau tidak mau menggali informasi dari Perry Smith atas kejadian malam itu sementara Perry Smith mulai curiga bahwa Capote hanyalah memanfaatkannya tanpa ada niat untuk menolongnya keluar dari penjara.

It’s like really waiting for a book to be made, gay Hoffman and charismatic Keener make it easier to be watched.

Secara alur cerita, film yang menceritakan salah satu fase penting dalam hidup Capote ini bisa dikatakan lamban. Dengan durasi hampir dua jam, penonton akan benar-benar seperti dibuat menunggu sebuah buku untuk dibuat. Ceritanya sendiri akan menimbulkan perasaan simpati kepada Perry Smith yang notabene sebagai tersangka pembunuh ketimbang terhadap tokoh Capote sendiri.  Pada point ini, interpretasi sekilas pada jalan cerita adalah Capote is the real evil here dengan titik dramatis yang hanya terjadi pada endingnya saja.

Namun apakah yang menarik dari film ini ? Tentu saja penampilan leading actornya Philip Seymour Hoffman yang berhasil memerankan seorang penulis buku gay dengan segala gesturenya baik saat ia memegang Koran, memegang gelas sampai dengan cara ia berbaring di kereta. Belum lagi cara bicaranya yang Hoffman manipulasi, titik sensitifitas Capote yang berhasil Hoffman tunjukkan dan sisi kepintaran untuk menjadi ‘bengis’ kepada lawan mainnya. Bisa dikatakan, Hoffman harus total memanipulasi dirinya untuk memerankan karakter Capote dan salah satu karakter Capote dalam film ini adalah memanipulasi dirinya sendiri, so it’s double manipulations for Hoffman. Chemistry sebagai sahabat lama Harper Lee pun ia perankan apik dengan aktris Catherine Keener. Keener sendiri berhasil memerankan Harper Lee yang karismatik sekaligus pintar dengan kualitas acting yang terlihat sangat natural dan effortless sedangkan penampilan Collins Jr sebagai Perry Smith berhasil menarik simpati penonton.

So, what makes this slow movie is so special is Hoffman as completely different human being ‘Truman Capote’.

Trivia

In Cold Blood menjadikan Truman Capote sebagai salah satu pengarang buku paling terkenal di Amerika namun dia tidak pernah bisa menyelesaikan buku yang lainnya.

Quote

Capote : There wasn’t anything I could done to save them.

Harper Lee : Maybe not, the fact is you didn’t want to.