Scarlett Johansson

Chef (2014), From Chocolate Lava Meltdown to Big Turkey that Brings People Together

Director : Jon Favreau

Writer : Jon Favreau

Cast : Jon FavreauJohn LeguizamoEmjay AnthonyDustin HoffmanSofía VergaraRobert Downey Jr., Scarlett Johansson

That food critics definitely has Wolverine’s fierce-ness, but Iron Man comes to rescue.

(REVIEW) Apa yang kita makan setiap hari ? Food. Apa yang berada di urutan paling bawah dari bagan Maslow ? Food. Yeah, seperti itulah gambaran Chef – film yang dibangun dengan pondasi membangun selera dari visualisasi berbagai sajian hidangan, dan mampu membangun tiangnya lewat kebutuhan manusia yang lain : family, affection, self esteem, self actualization, and not to forget “The Caliente” Sofia Vergara.

Keuntungan terlibat dalam franchise Iron Man, satu, jaminan box office #1, dua, bisa mengundang mantan cast-nya ke dalam sebuah makan malam fancy penuh bintang. Diakui atau tidak, Chef mendapatkan spotlight dari dua supporting actor-nya : Scarlett Johansson dan Robert Downey Jr., walau keduanya tak terlalu screentime yang akan memuaskan fans. Tapi sah-sah saja menggunakan umpan ini, karena Chef berhasil memberikan film yang mouth watering, well digested, precisely cooked, walau harus diakui “it’s just food and that’s it”.

(more…)

Under The Skin (2014) : Johansson as Perfect Catalyst for “Bare It All – Digest It – Transform” – Process

Director : Jonathan Glazer

Writer : Walter CampbellMichel FaberJonathan Glazer

Cast : Scarlett JohanssonJeremy McWilliamsLynsey Taylor Mackay

(REVIEW) We don’t need explanation, we just need Scarlet Johansson. Beberapa film memang terlihat “malas” untuk memberikan penjelasan tentang apa yang sedang diceritakan. Tapi, hal itu tidak selamanya menjadi hal negatif, beberapa film justru hidup setelah credit roll berjalan. Dan, terbukti bahwa Scarlett Johansson merupakan katalis sempurna, merubah apa yang ingin disampaikan filmmaker menjadi sesuatu yang ditangkap penonton (disamping banyaknya deviasi interpretasi yang berkembang tentang film ini, but that’s the beauty of it).

Let’s say this movie is such research, maka akan terlihat tidak valid jika penduduk bumi meneliti penduduk bumi sendiri. Yep, earth is population, Scotland is sample, van picking is its methodology. Oleh karena itu, diperlukan external party (dalam hal ini alien) untuk melakukan observasi tersebut.

(more…)

Her (2013) : Forever Alone-Guy, Sexy as Hell-Voice and Real-Unreal “Romantic Overload” – Relationship

Director : Spike Jonze

Writer : Spike Jonze

Cast : Joaquin Phoenix, Amy Adams, Rooney Mara, Olivia Wilde, and Scarlett Johansson as Samantha

About

Comment for the poster : Look at that face, pink background, with Joaquin Phoenix’s puppy eyes, this poster is so perfect. One of nice poster with big head of its leading actor.

Who the fuck is this guy ? Mantan istri, Rooney Mara. Teman baik, Amy Adams. Teman kencan, Olivia Wilde, bahkan operating sistemnya, Scarlett Johannson. Yeah, film diawali dengan muka “forever alone” Joaquin Phoenix yan, seorang penulis surat (yeah, this job is like future version for Tom Hansen’s job), yang sedang berada dalam proses perceraiannya dengan Catherine (Rooney Mara). Bersetting di masa depan dengan banyak kelebihan gadget, Theodore (Joaquin Phoenix) akhirnya menemukan sebuah operating system yang menyediakan jasa pertemanan berbasis suara. Beruntungnya, sesosok suara seksi penuh personality Samantha (disuarakan oleh Scarlett Johannson) pun mulai menemani hari-hari Theodore, termasuk menyetting kencannya dengan seorang perempuan (Olivia Wilde) sampai meng-compile semua surat Theodore untuk dijadikan sebuah buku. Hubungan mereka pun semakin nyata di dunia maya. Hal yang sama ternyata juga dilakukan oleh teman dekatnya Amy (Amy Adams) yang menjalin hubungan dengan sebuah/seorang operating system.

“Depressing yet romantic. So far yet so close. Bitter, ironic and sweet. Top notch chemistry between Phoenix and Johannson. If future could be this charming, bring it on, faster.”

Sejarah melihat filmnya Spike Jonze memang sangat jauh dari kata “mengecewakan”. Walaupun untuk Adaptation. dan juga Being John Malkovich, Spike Jonze banyak dibantu oleh Charlie Kaufman yang menyediakan screenplay super jenius dan inovavatif. Her adalah feature yang harus benar-benar mengandalkan Spike Jonze baik dari segi penyutradaraan dan juga penulisan. Dan untuk ini Spike Jonze benar-benar mengambil high risk, namun dengan high return yang sangat memuaskan (I am not talking about investation). Her benar-benar harus mengandalkan segi chemistry dari Phoneix dan juga bakat suara dari Johannson, jika chemistry itu gagal, this movie is gonna be fucking travesty. Her merupakan karya masterpiece yang bersetting di masa depan namun terasa dekat dan tidak adanya rasa “strange terhadap masa depan” namun tetap spesial. Kedekatan kita denganfilm ini sedikit banyak karena kita merasa fenomena dalam film ini benar-benar sedang terjadi dan terus berkembang, bagaimana setiap orang lebih dekat dengan gadget mereka, kata lainnya lebih memiliki hubungan intens dengan gadget mereka. Hanya saja fenomena sekarang masih terlalu one sided karena gadget masih terlalu pasif, nah disini, Spike Jonze mengambil kesempatan untuk menjalin sebuah relationship yang two sided, dinamik.

Special credit for Scarlett Johannson. Siapa yang meragukan keseksian mantan istri Ryan Reynold ini. Masuk dalam berbagai list “the sexiest” dan juga mendapatkan peran yang banyak mengekplorasi citra dirinya sebagai wanita seksi. Namun, ketika dia tidak dapat menggunakan fisiknya (salah satu issue karakter Samantha di film ini) dan harus 100 persen mengandalkan suaranya, hasilnya adalah she’s sexy as hell. Karakter Samantha tidak hanya sebuah suara. Samantha memiliki personality, character, bahkan intelligence, namun yang paling mengejutkan adalah she has heart. Bagaimana penggambaran Spike Jonze terhadap karakter Samantha ini harus diacungi jempol, membuat sebuah operating system yang canggih bukan hanya sebagai dummy instrument namun memperlakukannya lebih sebagai sebuah karakter yang real namun terjebak di dunia nyata. Karakter Samantha ini banyak menimbulkan pertanyaan untuk kita, “Is she pretentious ? “Is she faking it ? Yeah, she’s mysterius. Well done, Ms. Johannson, your sexy image (in real world) and your vulnerability make this voice comes true.

Pleasant cast. Mengambil Joaquin Phoenix sebagai seseorang yang kesepian merupakan salah satu tindakan yang bijaksana di department casting. You don’t need American Sweetheart to make this movie works. Dengan jangkauan yang luas dari aktor yang satu ini, Theodore merupakan karakter “tersweetheart” yang mengunci emosi penonton di sepanjang film. Theodore merupakan karakter yang bisa dikatakan “he says good thing but he doesn’t know if he means it”. Sebuah karakter yang sulit juga, ketika ia harus “juga” berinteraksi via suara dengan karakter utama yang hanya berupa suara. It’s like maybe he has to act “on the phone” for the whole time. Ditambah, bakat-bakat seperti Amy Adams, Rooney Mara, dan Olivia Wilde, this movie is fucking charming with serene atmosphere.

Serene atmosphere, film tentang masa depan ini merupakan salah satu film yang paling hangat. Tidak perlu gedung-gedung dengan model over futuristik (bahkan film ini tidak takut untuk mengajak penonton untuk berkeliling kota masa depan yang minim visual effect, tidak hanya sebagai set production, kota-kota ini juga banyak merefleksikan kesendirian dan emosi Theodore yang dikontraskan dengan keramaian kota besar), atau make up wardrobe ala Effie Trinket, set production dibuat berwarna dengan mempertahankan banyak sisi “masa sekarang” yang membuat film ini masih terasa dekat, ditambah dengan costume design yang sehangat rajutan nenek Spongebob membuat karakter-karakter di film ini menjadi irresistible. Joaquin Phoenix dengan celana dengan pinggang tinggi, wew ! What a fashion. Plus ternyata peniti tidak akan punah sampai masa depan.

Kemampuan Spike Jonze men-generate scene-scene flashback di setting masa depan, dipadukan dengan “so comforting scoring” merupakan salah satu faktor yang membuat film ini begitu emosional untuk penontonnya. Sangat emosional namun juga begitu indah, seakan-akan film ini tahu cara lain untuk berpuisi. Sebuah cara berpuisi yang tidak kehilangan kata-kata (scene) indah namun juga tetap bisa dimengerti oleh penontonnya.

Berpikir film ini hanya akan berkutat pada stagnant relationship ternyata salah, film ini banyak memberikan bumbu-bumbu romantis tentang sebuah hubungan seperti ekspektasi personal, betrayal, doubt, bahkan sampai sex. Mungkin sedikit terjadi ketimpangan antara paruh pertama dan juga paruh kedua, I am not gonna say it’s in negative perspective. Namun paruh pertama film ini benar-benar menarik perhatian terutama chemistry Theodore dan Samantha yang menjadi hal yang benar-benar refreshing, di paruh kedua sedikit turun terutama ketika Theodore kini harus beinteraksi dengan karakter-karakter yang lain. Film ini adalah sebuah film yang memiliki cara tersendiri untuk menjadi romantis yang didukung oleh semua faktor di film, termasuk brilliant writing of Spike Jonze. Overall, I should add this movie to my favorite movie all the time. Yay !!!!

Sweet but not saccharine.

Trivia

Carey Mulligan harus keluar dari projek ini karena konflik schedule dan harus digantikan oleh Rooney Mara.

Quote

Samantha: It’s like I’m writing a book and it’s a book I deeply love. But I’m writing it slowly now.

Don Jon (2013) : Popporn Complicates Relationship of Gordon Levitt’s Directorial Debut

Director : Joseph Gordon-Levitt

Writer : Joseph Gordon-Levitt

Cast : Joseph Gordon-Levitt, Scarlett Johansson, Julianne Moore

About

Joseph Gordon Levitt, salah satu aktor yang paling bersinar di tahun 2012, setelah follow up dari 500 Days of Summer dan kerjasamanya dengan Nolan di Inception dan juga Dark Knight Rises. Di tahun 2013, Joseph Gordon Levitt tidak terlalu terlihat high profile, namun di tahun inilah dia mengambil langkah directorial debutnya lewat film komedi Don Jon. Sepertinya sukses membesut filmnya sendiri, berita terbaru ia juga akan terlibat pada film Sandman.

Masih ingatkah kita pada karakter Cameron di 10 Things I Hate about You, atau muka suka dibully-nya pada 500 Days of Summer, sepertinya Don Jon merupakan langkah pembuktian bahwa dirinya bisa memerankan karakter yang berbeda (walaupun sebelumnya juga ia mengambil beberapa karakter yang menantang).

Don John (Joseph Gordon Levitt) adalah pria yang sangat teratur, ia hanya peduli pada keluarganya, gerejanya, apartemennya, mobilnya, tubuhnya, wanita di sekitarnya, dan yang paling menarik adalah hobinya menonton film porno. John mulai keranjingan menonton film porno, terutama ketika ia merasakan bahwa porn is better than sex. Kebiasaan inilah yang membuatnya menjadi “cynical” dengan arti relationship yang terlalu banyak omong kosong dan hal-hal romantis. Kemudian ia bertemu dengan perempuan idealnya (yeah you know, beautiful face, nice tits, nice butt), Barbara Sugarman (Scarlett Johannson), wanita seksi yang sangat menjunjung tinggi hubungan seperti di film-film romantis klise yang sering ia tonton. Ketika hubungan semakin dekat (dan dalam), John tetap tidak bisa merubah kebiasaannya menonton film porno, sesuatu yang Barbara sangat benci. Semakin lama, John pun dibuat “berubah” dengan pikiran “ideal” Barbara. Salah satunya ia harus kembali sekolah, yang mempertemukannya dengan Esther (Julianne Moore), wanita “labil” yang mungkin lebih bisa membaca dan mengerti pikiran John.

Projek ini juga sepertinya dibantu oleh teman-teman Levitt untuk membuat cameo (atau sebangsanya), terlihat pula Anne Hathaway, Channing Tatum, dan juga Brie Larson (peran kecil sebagai adik John).

“Steady, blandly confident, but like there’s something missing when Gordon Levitt wants something “thoughful” about relationship and porn.”

Ketika menulis script Don Jon, Levitt menulis karakter Barbara dengan bayangan Johannson di otaknya, beruntung Scarlett Johannson mau membintangi, dan karakter ini sangatlah menarik. Seperti kita ketahui, sudah berapa kali Johannson masuk ke dalam list “sexiest woman” di media, ataupun juga karakter yang menuntutnya untuk menunjukkan keseksiannya, let’s say Match  Point atau pakaian ketatnya sebagai Black Widow. Disinilah sepertinya Scarlett Johannson membuktikan bahwa ada beberapa macam karakter “seksi” yang dapat ia perankan. Barbara Sugarman sendiri berhasil di-cover sebagai seorang perempuan seksi, namun tidak bitchy, dan mempunyai sisi atraktif-nya sendiri. Walaupun seperti memerankan dirinya sendiri, namun Johannson tetap memberikan sisi yang lain terhadap “interpretasi” sisi seksi itu sendiri.

Berbeda dengan karakter John, I don’t why, tetapi sepertinya Gordon Levitt terlalu “showy” dalam menunjukkan karakternya. Dengan aksen bicaranya pada awal film yang “mengganggu” walaupun lambat laun semakin samar di akhir film, dan terutama gesture cara berjalannya yang terlalu, sekali lagi, sepertinya showy. Namun, dibalik itu semua, karakter Levitt ini memiliki confident yang terpancar di sepanjang film, that’s why I call him as blandly confident.

Dilihat dai berbagai karakter yang terlibat, sepertinya Levitt menginginkan banyak karakter yang “breaking the ice”, mulai dari karakter orang tuanya yang foul mouthed walaupun rajin mengunjungi gereja, sampai karakter Brie Larson yang ditampilkan sebagai adik yang ignorance sampai ia hanya mengucapkan sebaris perkataan di sepanjang film, semuannya sepertinya tidak “sekeren” seperti yang seharusnya. Sisi yang lain adalah kejutan dari karakter Esther (dimana karakter ini hampir sama sekali tidak terlihat pada trailer), Esther yang depresi malah berubah menjadi karakter “terkeren” di sepanjang film karena banyak mengatakan “ugly truth” yang akhirnya memiliki peran besar dalam plot.

Berbicara tentang film porno, Levitt tidak segan-segan menambahkan footage klip porno yang bisa dikatakan digunakan sebagai mana mestinya. Membuat klip-klip porno lebih berarti, apalagi jika karakter John membandingkan kehidupan seks-nya dengan ekspektasi yang ia peroleh dari klip porno. Yeah, Levitt memang berhasil membuat klip porno ini mempunyai arti, namun seiring berjalannya durasi, film ini berubah datar dan terdapat “sesuatu yang hilang” untuk mengkonversikan kecanduan yang dialami Levitt ke dalam sesuatu yang lebih “thoughtful”. Yeah, memang tidak mudah untuk membuat sesuatu yang terkesan simple “everybody does that” ke dalam sesuatu yang lain, yang membuat film ini terlihat memorable.

MAYBE SPOILER

Relationship antara Levitt dan Johannson memang menjadi main course dalam film ini, ketika hubungan mereka ada masalah, Levitt lebih mengambil pendekatan yang lebih casual dibandingkan pendekatan yang lebih dramatis. Sisi baiknya, mungkin akan terlihat lebih real, disisi lain seperti tidak adanya “keberatan” yang dialami karakter John ketika bermasalah dengan wanita pujaannya. “Sisi yang hilang” ini mungkin juga terjadi karena adanya loncatan karakter John yang tiba-tiba berkonsentrasi pada karakter Esther.

Intinya, Don Jon adalah sebuah sajian yang sangat percaya diri dan stabil dari awal sampai akhir. Dengan predikat rating “R”, film ini seharusnya lebih bisa menjadi film yang lebih raunchy disamping hanya menampilkan footage-footage porno yang berlalu begitu saja.

But, at least, Joseph Gordon  Levitt is honest person to admit he’s master of watching porno. Though, too much, but he’s character is very convincing.

Trivia

Channing Tatum sempat dipertimbangkan untuk mengambil peran utama, sebelum hanya berakhir sebagai cameo.

Quote

Barbara : Movies and porn ae different, Jon. They give awards for movie.

Jon : And they give award for porn too.

Match Point (2005) : Turning Point When Romantic Allen Goes ‘A Little Bit’ Dark

Director : Woody Allen

Writer : Woody Allen

Cast :  Jonathan Rhys Meyers, Scarlett Johansson, Matthew GoodeEmily Mortimer

About

Selama pengalaman gue nonton filmnya Woody Allen, filmnya seputar cinta-cinta yang terjadi kota-kota Eropa kayak Paris, Barcelona, Roma, dan lain-lain. Yah, begitulah Woody Allen. Kali ini di Londonlah yang bakal dieksplor oleh Woody Allen, dan masih tentang percintaan. London memang sebuah kota yang tepat untuk menceritakan level masyarakat semacam kasta, yang memang menjadi bagian dari film ini. Match Point bercerita tentang seorang pelatih tenis, Chris (Jonathan Rhys Meyers) yang berhasil masuk ke dalam sebuah keluarga yang kaya raya dengan cara melatih anggota keluarga mereka, Tom (Matthew Goode). Ketika Chris mulai dekat dengan adiknya, Chloe (Emily Mortimer), kesempatan untuk menjadi bagian keluarga itupun terbuka lebar. Di saat yang sama, Chris malah lebih tertarik pada Nola (Scarlett Johansson), aktris amatir yang juga tunangan dari Tom. Puncaknya, di tengah perkawinannya dengan Chloe yang tidak dikaruniai anak, Chris malah harus berhadapan dengan desakan Nola yang hamil buah hatinya.

Film ini mendapatkan nominasi Oscar untuk Best Original Screenplay.

“When Match Point is match point, you’re gonna get a real battle of who’s gonna win. Whether you like the definition of “luck” here or not, the brave ending, makes it as a winning movie.”

Ibarat olahraga, mungkin benar film ini adalah sebuah pertandingan alot antar dua pemain yang sama kuat hingga ending. Kuncinya, adalah Woody Allen tidak pernah terburu-buru dalam menciptakan tensi untuk film ini. Bagaimana ia menciptakan rasa simpati dari penonton untuk karakter Chris dan kemudian membaliknya. Begitu juga, bagaimana ia menciptakan rasa “kurang respect” untuk karakter Nola dan kemudian membaliknya.  Bagaimana ia membangun sebuah kriminal dengan tanpa terburu-buru dan cerdas.

Storyline yang sebenarnya dapat dikategorikan “lawas” mampu diubah oleh Woody Allen menjadi film thriller yang menegangkan. Para pemainnya mungkin tidak memberikan penampilan yang terbaik, namun kekuatan dari segi cerita menjadi point terpenting. Memang, pada point tertentu, cerita akan sedikit terlalu di”push” dan too good too be true. Pada akhirnya, penonton akan benar-benar mendapatkan sebuah match point. Tergantung pada siapa mereka memihak, match point yang satu ini benar-benar menegangkan.

Kembali dengan definisi “luck”, ending yang tidak diduga-duga sebenarnya sedikit agak menyesakkan, namun malah berujung film ini menjadi sangat memorable. Maybe I’m gonna say, it’s Woody goes dark.

Dan jika jeli, film yang diawali dengan sebuah bola tenis yang menyentuh net dan berhenti selama detik ini akan kembali dimunculkan sebagai twist endingnya. That’s what I like. Details which makes me so surprise and say “God, damn it. What a genious !”

Trivia

Woody Allen menganggap film ini sebagai salah satu karya terbaiknya.

Quote

Chris : People are afraid to face how great a part of life is dependent on luck. It’s scary to think so much is out of one’s control. There are moments in a match when the ball hits the top of the net, and for a split second, it can either go forward or fall back. With a little luck, it goes forward, and you win. Or maybe it doesn’t, and you lose.