Edgar Wright

Ant-Man (2015) : Two Thirds of Humdrum Routine World, One Third of Exciting Small World

Director : Peyton Reed

Writer : Edgar Wright (screenplay), Joe Cornish (screenplay), 7 more credits

Cast : Paul Rudd, Michael Douglas, Corey Stoll, Evangeline Lilly, Michael Peña

(REVIEW) Ant-Man ? Who wants to be an ant ? What is it ? A Bug’s Story ? Jika harus memilih kekuatan superhero dari nama hewan sepertinya Ant-Man akan berada posisi paling bawah dalam daftar. Siapa yang ingin mengerutkan dirinya sendiri sementara Marvel Cinematic Universe terus berkembang dengan alternatif puluhan superhero yang bisa diangkat ke layar lebar ? Perhatian langsung terpusat saat nama Edgar Wright-lah yang seharusnya menjadi sutradara sekaligus penulisnya, ditambah jika memiliki nostalgia semacam menonton film Honey, I Shrunk The Kids, Ant-Man adalah proyek menantang dari Marvel – yang tidak hanya memusatkan pada kekuatan superhero secara internal, namun juga bagaimana kekuatan ini bisa mengubah perspektif dunia, literally. So, I am in !

Adalah dokter Pym (Michael Douglas) yang di tahun 1980an menemukan sebuah partikel rahasia yang jika disalahgunakan akan mengancam umat manusia (yeah, sure !) dan langsunglah kita diperkenalkan dengan Scott Lang (Paul Rudd) dengan dunia sekarang nan membosankan. Ia seorang mantan pembobol system perusahaan, dipenjara, kemudian berusaha kembali ke anak semata wayangnya sementara sang istri (Judy Greer) telah memiliki keluarga baru dengan tunangannya (Bobby Cannavale). Talented, handsome, and loser working on Baskin and Robbins – tidak mudahlah untuk Scott menemukan pekerjaan baru yang bisa membuatnya memulai kehidupan barunya. Sampai ia bertemu dengan Dokter Pym yang menawarinya sebuah pekerjaan untuk mencuri dan menghancurkan data dari Darren Cross (Corey Stoll) – protégé dari Dokter Pym sendiri yang mulai berhasil mengimitasi partikel rahasia yang ia temukan beberapa tahun lalu – partikel penyusut yang siap menghancurkan atau mengancam perdamaian dunia (you know if there is a thing wanting world peace more than Miss Universe, it’s Superhero).

(more…)

The World’s End (2013) : This is The End for The Last Flavour of Cornetto Trilogy

Director : Edgar Wright

Writer : Simon PeggEdgar Wright

Cast : Simon PeggNick FrostMartin Freeman, Paddy Considine, Eddie Marsan and Rosamund Pike

Hey it is our basic human right to be fuck ups. This civilization was founded on fuck ups and you know what? That makes me proud ! – Gary King

About

Edgar Wright, one of my favorite director, yeah karya-karyanya emang selalu ditunggu, walaupun memang tidak terlalu produktif, namun itulah mengapa karyanya selalu ditunggu. Berbicara tentang film ini, dimana merupakan installment terakhir dari trilogy Three Flavour Cornetto, sepertinya kurang sreg jika tidak membicarakan dua film pendahulunya. Yeah, sedikit review juga untuk dua film pendahulunya.

Shaun of The Dead, mewakili warna merah dari warna cornetto, yang berarti darah, yang dalam hal ini dikaitkan dengan zombie. Mengambil cerita yang sederhana, Shaun of The Dead bercerita tentang zombie outbreak yang terjadi saat aktivitas sehari-hari dan misi dari film ini adalah Nick Frost serta Simon Pegg yang harus menjemput dan menyelamatkan orang-orang terdekat mereka, seperti pacar dan ibu.  Ketika genre zombie mulai lelah dengan hanya itu itu saja, Edgar Wright bersama rekannya, Simon Pegg berhasil meracik genre ini menjadi lebih smart, lebih kocak, namun juga tidak kehilangan sisi gore atau bloody yang memang identik dengan genre ini. Dengan mengambil sosok zombie yang bisa dikatakan “uninspiring”, seperti lamban, bodoh, one of the best zombie, Shaun of The Dead terbukti menjadi mesin yang mampu mengocok perut sampai maksimal. Tidak hanya itu, jokes satire yang membuktikan terkadang tanpa digigit suatu virus-pun, manusia sudah menjadi zombie. Untuk kategori film bergenre zombie, tentu saja film ini melakukan banyak refreshment, yeah, agree or not, this is one of the best zombie flick.

Dua tahun setelahnya, film ini kembali me-reunite sutradara dan juga 2 tokoh utamanya, Nick Frost dan Simon Pegg untuk installment kedua dari trilogy, mewakili warna biru yang berarti sesuatu yang berhubungan dengan polisi. Film yang satu ini juga berhubungan dengan cop buddy, jika cop buddy lebih mengambil setting di kota besar, let’s say Boston kemudian mereka berusaha menangkap bandar narkoba. Hot Fuzz bercerita tentang seorang polisi yang dipindah tugaskan ke sebuah desa yang memiliki angka kriminal yang sangat rendah. Terdengar tidak menantang memang, namun disinilah kunci keberhasilan dari Hot Fuzz, lagi, lagi menyajikan sebuah cop-story yang berbeda. Walaupun mempunyai angka kriminal yang rendah, namun terjadi kecelakaan-kecelakaan yang misterius dan membawa kita pada salah satu twist yang tidak pernah disangka-sangka. Simple but unexpected twist. Hot Fuzz berhasil menggabungkan antara comedy, action, sekaligus teka teki dengan misteri yang membuat penonton ingin mengungkapnya. Fast paced dan salah satu karya Edgar Wright yang juga paling kaya dalam segi cerita.

Back to The World’s End.

Terdengar dari judulnya, it’s all about apocalypse, yeah it’s right. The World’s End merupakan perwakilan warna hijau dari cornetto yang diterjemahkan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan science fiction. Gary King (Simon Pegg) seorang mantan ketua geng di SMA-nya, sekarang mempunyai kehidupan yang cukup berbeda dengan teman-temannya yang lain, dia masih terlalu berkonsentrasi pada kejayaan masa lalu, yang membuatnya mempunyai satu obsesi untuk mengumpulkan keempat temannya untuk menjalani satu misi, epic pub crawl yaitu menjalani layaknya tour ke dua belas pub di hometown mereka, dimana pub terakhir bernama The World’s End. Setelah membujuk satu persatu temannya akhirnya Gary berhasil mengajak Andy (Nick Frost), Oliver (Martin Freeman), Steven (Paddy Considine) dan Peter (Eddie Marsan) untuk melancarkan rencana Gary. Sifat Gary yang masih kekanak-kanakan membuat keempat temannya yang lain terkadang merasa bahwa trip ini lebih menjadi trip egois dari Gary yang masih terjebak di masa lalunya. Ketika mereka sibuk mengunjungi satu pub ke pub yang lain, grup ini bertemu dengan love interest Gary, yang juga merupakan adik Oliver, Sam (Rosamund Pike), yang secara tidak langsung juga ikut memperkeruh suasana. Di tengah konflik konyol yang mereka hadapi, Gary diserang oleh robot (yang bukan robot) di toilet dan membuatnya tersadar bahwa hometown mereka sekarang sedang berada pada invasi alien yang tidak akan membiarkan mereka untuk keluar dari kota itu.

“Keep solid, but it’s my less favorite for the whole trilogy. Why ? Simon Pegg is funny but he’s annoying and never takes something seriously, secondly, it goes nowhere except this pub, and that pub.”

Here it is these goddamn pubs, what’s so special about it ?

Image

The World’s End merupakan film dengan arahan sutradara sekaligus screenplay dengan banyak jokes yang solid. Simon Pegg dan juga Nick Frost juga tidak pernah kehilangan chemistry dan belm lagi pemain pendukung yang turut meramaikan suasana. Dialog serta jokes dilontarkan dengan cepat namun masih bisa ditangkap. The World’s End bisa dikatakan sebagai film komedi diatas rata-rata namun jika dibandingkan dengan dua film pendahulunya, film ini menjadi film yang paling lemah, dan paling krusial, film yang paling lemah yang dijadikan sebagai film penutup, sehingga film ini terkesan mengecewakan.

Berhubungan dengan judulnya, The World’s End (walaupun ini sebenarnya merupakan nama pub), penonton sudah dibuat berekspektasi tentang sebuah film apocalypse yang kaya akan action dan juga intrik yang melibatkan semua karakternya. Namun, The World’s End sepertinya terlalu mengulur pada sepertiga paruh pertama dengan banyak basa-basi (walaupun juga banyak solid jokes) yang cenderung membuat penonton untuk menunggu.

Walaupun  mengambil pendekatan yang kurang serius, Shaun of The Dead dan juga Hot Fuzz tidak melupakan salah satu sisi penting dari film bergenre zombie atau krimanal, yaitu kedua film ini tidak melupakan sisi “bahaya” yang membuat karakternya untuk mengambil tindakan serius untuk meminimalkan bahaya tersebut, yang juga membuat film tetap thrilling, unsur inilah yang bisa dikatakan dilupakan pada The World’s End. Ketika sajian utama dari film yang merupakan alien invasion dihadirkan, sajian utama ini tidak terlalu ditanggapi serius oleh para karakternya dan jalan cerita terlalu memaksakan. Seriously, ketika terdapat sebuah alien invasion, dan yang dilakukan adalah tetap menjalani misi mereka untuk mengunjungi 12 pub daripada usaha melarikan diri keluar kota (seriously ? seriously ?).

Walaupun zombie di Shaun of The Dead merupakan zombie yang tidak berbahaya (apalagi di Hot Fuzz), namun paling tidak mereka bisa menggigit. Disini, para robot-robot (yang bukan robot) hanyalah objek action yang kurang berbahaya dan kurang thrilling untuk menjadi bahan antagonist. Alien disini hanya seperti manekin-manekin berjalan yang mudah patah dan dikalahkan siapa saja.

Satu lagi yang sepertinya menganggu, Simon Pegg telah melakukan tugasnya dengan baik, namun karakter Gary King sepertinya terlalu mendominasi pengambilan keputusan dalam jalan cerita, dan inilah saat pertama karakter Simon Pegg ini kurang bisa disukai (actually, that is good thing, Simon Pegg bisa memerankan karakter yang berbeda), namun yang membuat menjengkelkan adalah he never take anything serious dan membuat keputusan yang sama sekali tidak masuk AKAL SEHAAAAAAT. Karakter Gary ini tidak hanya mengesalkan namun juga membuat penonton kurang menjadi peduli dengan nasibnya di akhir film. Walaupun karakter Gary King ini akhirnya terbayar di scene akhir yang menyentuh mengapa karakter Gary King ini melakukan misi mengunjungi 12 pub.

The World’s End masih mempertahankan sisi misteri dari sebuah invasi alien yang tetap membuat penonton terjaga, yah, even alien disini pun punya misi dengan label “for the greater good”. Walaupun pada akhirnya misi para alien ini ditutup dengan twist yang konyol (yang sepertinya mengingatkan pada twist simple but ridiculous dari Hot Fuzz) namun juga lagi-lagi kurang bisa diterima akal sehat, namun sekali lagi mengingat ini bergenre science fiction, so I can live with that.

The World’s End sepertinya kehilangan semangat yang ditunjukkan Shaun of The Dead dan terutama Hot Fuzz tentang arti sebuah survival, namun berita bagusnya adalah tetap A LOT OF WITTY LINES AND JOKES AS USUAL.

The World’s End memang diatas rata-rata dan sekaligus berhasil menghadirkan rasa cornetto terakhir sebagai rasa yang berbeda. It’s still delicious but once again, not my favorite.

Biography : Edgar Wright, Supplier for Comedy with Full Of Wittiness

“His movies are incredibly good and he showed the funny things in his own inventive ways.”

Sutradara, produser, dan writer ini dikabarkan akan menjadi sutradara film Ant Man. Terkenal dengan script film yang tidak biasa, Edgar Wright akan kembali berkolaborasi dengan Joe Cornish, sutradara film invasi alien tidak biasa Attack The Block, untuk menyediakan scenario bagi film dari Marvel ini.

Tahun depan sendiri, 2013, dia akan melengkapi trilogy “The Blood and Ice Cream Trilogy” bersama dengan Shaun Pegg. Film The World’s End akan dibintangi Simon Pegg tentu saja, Rosamund Pike, terakhir Martin Freeman dikabarkan akan bergabung dan tidak lupa Nick Frost.

Sutradara yang memiliki sense of humour tidak biasa ini setidaknya telah menyutradarai dan menulis beberapa film yang juga ‘tidak biasa’ yang telah mendapatkan kesuksesan baik secara komersial atau kritik.

Shaun of The Dead (2004) : Funny Wittiness of Smashing Every Head On The Road

Siapakah yang masih mengingat bagaimana Simon Pegg dan Nick Frost berusaha membunuh zombie dengan cara melemparkan piringan hitam ?

Film yang dirilis delapan tahun yang lalu ini bercerita tentang Shaun (Pegg) harus berjuang menyelamatkan keluarga, sahabat dan pacaran di tengah zombie apocalypse. Film yang berhasil menggabungkan unsur horror, konyol, cerdas, dan gore dalam satu paket yang menawan  ini menjadi pembuka luar biasa untuk trilogy Edgar Wright dan Simon Pegg.

Hot Fuzz (2007) : You Got It All, It’s A Complete Dish

Ditransfer ke sebuah desa penuh dengan kedamaian dan ketentraman tidak menyurutkan polisi berbakat Nicholas Angle untuk beraksi. Lagi dan lagi, menu lengkap untuk action, comedy, gore dikombinasikan dengan sedikit teka-teki penyelidikan sebuah peristiwa criminal.

Masih mengandalkan fast paced dalam filmnya plus jokes dimana-mana, film ini sepertinya tidak akan bosan ditonton berulang-ulang karena akan selalu menemukan hal baru atau jokes yang terlambat untuk dimengerti. Installment kedua dari trilogy ini sungguh berlian. Wow !

Quote ‘For the greater good” adalah spoiler bagaimana Nicholas Angel mengungkap setiap criminal yang ada dan akan membuat penonton berkata seketika, “Really ??”

Scott Pilgrim VS. The World (2010) : Pilgrim’s Fist Fights Seven Deadly Exes In Dazzling Way

Bukanlah bagian dari trilogy. Diisi dengan bintang muda bersinar Michael Cera, Mary Elizabeth Winstead, Chris Evan, Brie Larson hingga Brandon Routh. Full efek animasi kreatif yang membuat penonton seperti diajak melihat game dalam sebuah film. Yup, itu dia Scott Pilgrim VS. The World yang bercerita tentang Pilgrim (Cera) harus menakhlukkan tujuh mantan paling jahat Ramona Flower (Winstead) agar tetap bisa berkencan dengannya.

Film yang diangkat dari graphic novel ini tidak hanya menyilaukan mata dengan efeknya namun juga dengan performances para pemainnya yang bisa dikatakan full characters dan memberikan ekspresi komikal yang sangat tepat timingnya, thanks for editor.

So, come on !!!! Your last installment of “The Blood and Ice Cream Trilogy” must be real comedy. Can’t wait.