2005

Match Point (2005) : Turning Point When Romantic Allen Goes ‘A Little Bit’ Dark

Director : Woody Allen

Writer : Woody Allen

Cast :  Jonathan Rhys Meyers, Scarlett Johansson, Matthew GoodeEmily Mortimer

About

Selama pengalaman gue nonton filmnya Woody Allen, filmnya seputar cinta-cinta yang terjadi kota-kota Eropa kayak Paris, Barcelona, Roma, dan lain-lain. Yah, begitulah Woody Allen. Kali ini di Londonlah yang bakal dieksplor oleh Woody Allen, dan masih tentang percintaan. London memang sebuah kota yang tepat untuk menceritakan level masyarakat semacam kasta, yang memang menjadi bagian dari film ini. Match Point bercerita tentang seorang pelatih tenis, Chris (Jonathan Rhys Meyers) yang berhasil masuk ke dalam sebuah keluarga yang kaya raya dengan cara melatih anggota keluarga mereka, Tom (Matthew Goode). Ketika Chris mulai dekat dengan adiknya, Chloe (Emily Mortimer), kesempatan untuk menjadi bagian keluarga itupun terbuka lebar. Di saat yang sama, Chris malah lebih tertarik pada Nola (Scarlett Johansson), aktris amatir yang juga tunangan dari Tom. Puncaknya, di tengah perkawinannya dengan Chloe yang tidak dikaruniai anak, Chris malah harus berhadapan dengan desakan Nola yang hamil buah hatinya.

Film ini mendapatkan nominasi Oscar untuk Best Original Screenplay.

“When Match Point is match point, you’re gonna get a real battle of who’s gonna win. Whether you like the definition of “luck” here or not, the brave ending, makes it as a winning movie.”

Ibarat olahraga, mungkin benar film ini adalah sebuah pertandingan alot antar dua pemain yang sama kuat hingga ending. Kuncinya, adalah Woody Allen tidak pernah terburu-buru dalam menciptakan tensi untuk film ini. Bagaimana ia menciptakan rasa simpati dari penonton untuk karakter Chris dan kemudian membaliknya. Begitu juga, bagaimana ia menciptakan rasa “kurang respect” untuk karakter Nola dan kemudian membaliknya.  Bagaimana ia membangun sebuah kriminal dengan tanpa terburu-buru dan cerdas.

Storyline yang sebenarnya dapat dikategorikan “lawas” mampu diubah oleh Woody Allen menjadi film thriller yang menegangkan. Para pemainnya mungkin tidak memberikan penampilan yang terbaik, namun kekuatan dari segi cerita menjadi point terpenting. Memang, pada point tertentu, cerita akan sedikit terlalu di”push” dan too good too be true. Pada akhirnya, penonton akan benar-benar mendapatkan sebuah match point. Tergantung pada siapa mereka memihak, match point yang satu ini benar-benar menegangkan.

Kembali dengan definisi “luck”, ending yang tidak diduga-duga sebenarnya sedikit agak menyesakkan, namun malah berujung film ini menjadi sangat memorable. Maybe I’m gonna say, it’s Woody goes dark.

Dan jika jeli, film yang diawali dengan sebuah bola tenis yang menyentuh net dan berhenti selama detik ini akan kembali dimunculkan sebagai twist endingnya. That’s what I like. Details which makes me so surprise and say “God, damn it. What a genious !”

Trivia

Woody Allen menganggap film ini sebagai salah satu karya terbaiknya.

Quote

Chris : People are afraid to face how great a part of life is dependent on luck. It’s scary to think so much is out of one’s control. There are moments in a match when the ball hits the top of the net, and for a split second, it can either go forward or fall back. With a little luck, it goes forward, and you win. Or maybe it doesn’t, and you lose.

The 40 Year Old Virgin (2005) : Pressure for The Guy Who’s Never Done The Deed

Director : Judd Apatow

Writer : Judd Apatow

Cast :  Steve CarellCatherine Keener, Seth Rogen, Paul Rudd, Romany Malco, Elizabeth Banks

About

Judd Apatow, seorang sutradara, produser, juga penulis dan suami dari aktris cantik, Leslie Mann. Karirnya memang tidak jauh dengan genre film komedi dengan bintang-bintang yang selalu jadi andalan. Sebut saja Leslie Mann (tentu saja), Steve Carell, Seth Rogen, Paul Rudd, Jonah Hill, Kristen Wiig, Jason Segel, dan lain-lain. Aktor-aktor yang digandeng oleh Judd Apatow, baik dia selaku sutradara atau hanya produser, terbukti memang menjelma menjadi leading actor dan leading actress yang bisa dikatakan sukses. Salah satunya adalah aktor Steve Carell, walaupun dia kebanyakan memainkan film dengan karakter yang nyaris sama (I gotta say, he’s Jennifer Aniston in male version), tapi banyak peran utama yang telah ia mainkan. Sebut saja yang paling baru, The Incredible Burt Wondertone, atau sebagai Dodge laki-laki yang ditinggal pasangannya di Seeking A Friend for The End of The World, atau sebagai Cal Weaver laki-laki yang ditinggal pasangaannya (lagi) di komedi Crazy Stupid Love. Melihat aktor ini, kita pasti kurang akan mengingat peran kecilnya di komedi Anchorman atau Bruce Almighty.

Film The 40 Year Old Virgin inilah yang menjadi milestone penting dalam perjalanan Steve Carell, bercerita dengan premis yang umum dan sederhana namun juga tabu untuk dibahas. The 40 Year Old Virgin (sebenarnya dari judu filmnya juga sudah ketahuan) menceritakan Andy yang tidak kunjung melakukan intercourse di umurnya yang menginjak kepala empat. Ketika “aibnya” ini diketahui teman sekerjanya (Paul Rudd, Seth Rogen, Romany Malco), mereka langsung mencari segala cara untuk melepaskan keperjakaan sang Andy. Ketika Andy bertemu Trish (Catherine Keener), seorang janda dengan banyak anak dan juga cucu, apakah Trish bisa menerima Andy yang seorang virgin ???

“Oh please somebody, help him ! because he’s doing ridiculous moments, again and again.”

Scene saat Andy di body waxing itu benar-benar EPIC !!! Scene saat Paul Rudd dan Seth Rogen bermain “You Know How I Know You’re Gay” itu juga benar-benar EPIC !!! Scene saat bermain dengan Magnum (Magnum is condom, I don’t know it is a type, product specification, or brand, or whatever) itu benar-benar raja dari segala EPIC. Adegan antara Steve Carell dan Elizabeth Banks as a crazy and sex addicted girl itu benar-benar EPIC !! (I don’t know why I keep saying EPIC, I don’t even know what it means). Film ini secara terus-terusan menampilkan scene-scene yang benar-benar mengocok perut dari awal sampai akhir. Ibarat sebuah permen, film ini adalah film dengan banyak rasa dari tiap adegannya, rasa charming dan sweet dari leading couple-nya, belum lagi nasty and “a little bit of dirty” dari topik sexnya, juga jokes-jokes segar yang keluar dari mulut para castnya yang memang talented gila.

Dari sebuah cerita yang sederhana dan tidak perlu macam-macam, ternyata Judd Apatow yang juga merupakan screenwriter mampu menggali segala sisi dan kemudian menambahkannya dengan jokes yang selayaknya di film komedi, kemudian dipertunjukkan oleh para aktor- aktris dengan improvisasi sana-sini, film menjadi film yang rekomendasi bagi penyuka film komedi.

Di sisi lain, dengan scope cerita yang sudah ketahuan dan terkesan sempit, durasi dari film ini menjadi sedikit kepanjangan karena hanya membahas yang itu-itu saja. Andy mencoba melepas keperjakaannya kemudian gagal, Andy mencoba melepaskan keperjakannya kemudian gagal lagi, ya begitulah tapi dengan jokes sebanyak ituuuuu, this movie is not too long for me, not for me.

Film ini kemudian ditutup dengan sebuah adegan menari dan menyanyi semua cast yang NORAK, tapi keren dan bakalan memorable banget.

Trivia

Adegan body waxing untuk menghilangkan bulu dada Andy (his nipple included) benar-benar dilakukan secara real oleh Steve Carell. What a painful scene !!!!

Quote

David: You know how I know you’re gay ?

Cal: How? Cause you’re gay ? And you can tell who other gay people are?

David: You know how I know you’re gay ?

Cal: How ?

David: You like Coldplay.

Hard Candy (2005) : Not Just A Little Girl, A Guy Should Be Ready

Sutradara : David Slade

Penulis : Brian Nelson

Pemain : Ellen Page, Patrick Wilson, Sandra Oh

“Almost no gore, but some scenes are very intense with frills of very serious tone conversation which brings this as no mediocre thriller (though it’s restless pointless exploitation of torture).”

About

Bagi penggila film gore, thriller ataupun horror pasti telah menonton film independen yang satu ini. Film ini dibuka pada Sundance Film Festival di tahun 2005 dengan plot cerita yang unik dengan tidak biasa. Film berkisah tentang seorang gadis ‘misterius’, Hayley (Ellen Page), mengajak kencan seorang fotografer yang terpaut usia jauh diatasnya, Jeff (Patrick Wilson). Hayley sangatlah pintar berbicara, supel dan pintar, karakternya ini akan mengingatkan kita pada karakter Juno yang melambungkan nama Ellen Page dan menyabet nominasi Oscarnya, hingga di titik dia mengunjungi rumah Jeff. Di rumah Jeff inilah, Hayley mengeluarkan sosok aslinya dan memberi sebuah kejutan ‘kecil’ untuk Jeff yang ia duga seorang pedofilia.

Film ini digarap oleh sutradara yang biasanya memproduksi music video, David Slade dan merupakan film debutnya.

At some points of this movie, you’ll say big “Ouch !!!!”

Penampilan kedua leading role tentu saja lebih dari memuaskan, terutama Ellen Page dan depresi yang dialami Patrick Wilson saat adegan penyiksaan. Keduannya juga membawakan percakapan debat yang serius dengan sangat intens. Ellen Page membuka dirinya sebagai anak kecil yang penuh perhitungan dan serasa menyembunyikan sesuatu yang ia pendam, inilah yang akan menjadi misteri di sepanjang film, siapakah karakter Hayley Stark sebenarnya.

Film minim darah, tidak akan ada gore berlebihan, namun ada sebuah scene yang akan sangat intens, yaitu scene Ellen Page mengebiri Patrick Wilson dengan tangannya sendiri. Di sepanjang scene in, penonton akan dibuat ngilu, terutama jika cowok, penonton benar-benar merasakan apa yang dirasakan karakter Jeff terutama dari segi emosional. Namun hingga suatu titik mendekati ending, penonton akan dibuat “it’s like restless ending torture” dimana karakter Hayley kurang jelas menunjukkan point yang ingin ia ungkapkan, sekaligus sifat “masterplan dan mengetahui segala kemungkinan yang ada” membuat film ini kurang natural. Ketidakterjawabnya beberapa pertanyaan akan membuat penonton mengerutkan kening selepas menonton film ini.

Trivia

Baju yang dipakai Hayley Stark akan mengingatkan kita akan karakter Red Riding Hood, walaupun Ellen Page mengaku bahwa warna sebenarnya dari jaket itu adalah orange.

Quote

Hayley Stark : I am every little girl you ever watched, touched, hurt, screwed, killed.

Capote (2005) : A Cold Blooded Writer Is Getting Closer to The Killer

Sutradara : Bennett Miller

Penulis : Dan Futterman

Pemain : Philip Seymour Hoffman, Catherine Keener, Clifton Collins Jr.

“Hoffman’s performances with his gesture, the way he talks as a gay book author could be a good enough reason to watch this movie.”

About

In Cold Bold menjadi salah satu buku yang melambungkan nama penulis Amerika, Truman Capote. Buku ini diangkat menjadi film dengan judul yang sama pada tahun 1967. Ternyata, dalam menulis buku ini Capote mempunyai cerita tersendiri dengan narasumber. Cerita Capote dengan Perry Smith diangkat dalam dua film feature sekaligus berjudul Capote dan Infamous. Film berjudul Capote inilah yang mengantarkan Philip Seymour Hoffman menjadi Best Actor dalam Oscar dan nominasi kedua bagi Catherine Keener yang memerankan sahabat Capote yang juga merupakan penulis sepanjang masa, Nelle Harper Lee.

Sebuah keluarga di Kansas dibantai dengan sadis oleh dua orang criminal, Perry Smith dan Richard Hickock. Ketika keduanya berhasil ditangkap, seorang penulis, Truman Capote berminat untuk menuliskan kisahnya dalam bukunya. Untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan, ia melakukan research dengan mendekati kedua pembunuh ini, terutama Perry Smith, yang menurutnya memiliki sifat lain yang perlu ia ketahui. Capote semakin mendalami material bukunya, tanpa sedikit menghiraukan bahwa kedua pembunuh ini mempunyai harapan yang tinggi akan buku Capote. Capote terjebak dalam situasi rumit ketika ia harus menyelesaikan ending buku dengan mau tidak mau menggali informasi dari Perry Smith atas kejadian malam itu sementara Perry Smith mulai curiga bahwa Capote hanyalah memanfaatkannya tanpa ada niat untuk menolongnya keluar dari penjara.

It’s like really waiting for a book to be made, gay Hoffman and charismatic Keener make it easier to be watched.

Secara alur cerita, film yang menceritakan salah satu fase penting dalam hidup Capote ini bisa dikatakan lamban. Dengan durasi hampir dua jam, penonton akan benar-benar seperti dibuat menunggu sebuah buku untuk dibuat. Ceritanya sendiri akan menimbulkan perasaan simpati kepada Perry Smith yang notabene sebagai tersangka pembunuh ketimbang terhadap tokoh Capote sendiri.  Pada point ini, interpretasi sekilas pada jalan cerita adalah Capote is the real evil here dengan titik dramatis yang hanya terjadi pada endingnya saja.

Namun apakah yang menarik dari film ini ? Tentu saja penampilan leading actornya Philip Seymour Hoffman yang berhasil memerankan seorang penulis buku gay dengan segala gesturenya baik saat ia memegang Koran, memegang gelas sampai dengan cara ia berbaring di kereta. Belum lagi cara bicaranya yang Hoffman manipulasi, titik sensitifitas Capote yang berhasil Hoffman tunjukkan dan sisi kepintaran untuk menjadi ‘bengis’ kepada lawan mainnya. Bisa dikatakan, Hoffman harus total memanipulasi dirinya untuk memerankan karakter Capote dan salah satu karakter Capote dalam film ini adalah memanipulasi dirinya sendiri, so it’s double manipulations for Hoffman. Chemistry sebagai sahabat lama Harper Lee pun ia perankan apik dengan aktris Catherine Keener. Keener sendiri berhasil memerankan Harper Lee yang karismatik sekaligus pintar dengan kualitas acting yang terlihat sangat natural dan effortless sedangkan penampilan Collins Jr sebagai Perry Smith berhasil menarik simpati penonton.

So, what makes this slow movie is so special is Hoffman as completely different human being ‘Truman Capote’.

Trivia

In Cold Blood menjadikan Truman Capote sebagai salah satu pengarang buku paling terkenal di Amerika namun dia tidak pernah bisa menyelesaikan buku yang lainnya.

Quote

Capote : There wasn’t anything I could done to save them.

Harper Lee : Maybe not, the fact is you didn’t want to.