Audrey Hepburn’s Movies in Rank

Audrey Hepburn

Audrey Hepburn, siapakah yang tak mengenal aktris satu ini ? Aktris berdarah Belgia ini memiliki kharisma, bisa bermain drama, bisa bermain terutama komedi, musikal, apalagi romance. Dia seorang humanitarian dan juga seorang EGOT (God !), dia seorang fashion icon. Dan inilah film-film Audrey Hepburn yang perlu ditonton, I make it in a list so you could make your priority, and relax, even her bad movies are always presentable. The list is based on my favorites rank. Enjoy !

The list is still growing…..

(more…)

The Good Dinosaur (2015) is Decent Pixar Movie with Heartbreaking Moments and Its Wilderness

Director : Peter Sohn

Writer : Bob Peterson (original concept and development), Peter Sohn (story)

Cast : Jeffrey Wright, Frances McDormand, Maleah Nipay-Padilla

(REVIEW) Review singkat untuk film pendek pembuka yang menjadi tradisi Disney Pixar kali ini adalah untuk Sanjay’s Super Team. Film pendek ini mungkin terkesan biasa saja, namun dengan memberikan embel-embel “based on true story……..mostly”, namun film ini mengandalkan sisi relatable-nya dengan cukup mengasyikkan menggabungkan bagaimana passion yang terkesan keduniawian bisa bergabung dengan dunia spiritual, dengan cara penyampaian yang tak terlalu menggurui. Now, we move on to the maincourse.

The Good Dinosaur Poster

Animasi, seperti yang dikatakan oleh Zoe Saldana dan Dwayne Johnson dalam Oscars sebelumnya, genre ini merupakan genre yang inventive dalam industrinya. Studio Disney – Pixar mencapai klimaksnya tahun ini dengan merilis Inside Out yang instant menjadi frontrunner untuk Oscar mendatang, dan tak berhenti di situ mereka menambahkan satu entry-an lagi : The Good Dinosaur. Dua film Disney Pixar dalam satu tahun ? Yah, sepertinya memang terjadi sedikit kekacauan dalam jadwal mereka. Hal ini dikarenakan dengan konsep ambisiusnya Inside Out dan The Good Dinosaur sendiri yang mengalami production hell sampai mengganti semua pengisi suaranya dikarenakan adanya gejolak dalam pengelolaan storyline-nya. Menjadi indikasi negative saat proses produksinya, The Good Dinosaur memang tak bisa disamakan dengan film Pixar lainnya – melalui konsep yang sederhana, mungkin film ini masih meninggalkan masalah dalam segi penceritaannya, namun tertutup dengan kelebihan dengan Pixar mempertahankan sisi primordial-nya dengan menutupinya dengan “oddball” material lewat instant charms, breathtaking scenery (yap ! sangat mahal untuk film animasi), interaksi karakter yang begitu dasar namun juga begitu affecting, tragedy khas Pixar, dan terkadang, banyak kekejaman (this Dinosaur isn’t as good as like you think – in a good way).

(more…)

The Hunger Games : Mockingjay Part II (2015) : Gratitude for Jennifer Lawrence, May The Odd Be Ever in Its Favor

Director : Francis Lawrence

Writer : Peter Craig (screenplay), Danny Strong (screenplay)

Cast : Jennifer Lawrence, Josh Hutcherson, Liam Hemsworth, Julianne Moore

(REVIEW) Saat membaca The Hunger Games terbesit pikiran “Wow, ini Battle Royale versi dunia Barat, tapi bolehlah.”, ketika membaca Catching Fire terbesit pikiran, “Tak disangka buah beri bisa membawa komplikasi sepintar ini.”, dan ketika membaca Mockingjay (setelah menonton dua buku sebelumnya telah difilmkan) yang ada di pikiran adalah “Suzanne Collins sepertinya tak menyangka buku-bukunya akan menjadi sebesar ini.” Mockingjay memang menjadi buku terlemah dari seri ini. Menjadi buku konklusi dengan beban berat, Mockingjay sepertinya ingin menyimpulkan banyak hal dengan cara memperbesar universe­-nya lewat District 13, menggunakannya, namun tanpa memberikan pembaca untuk mengenalnya. Belum lagi ditambah dengan klimaks konflik cinta segitiga yang sampai tahap klimaks dan penambahan sejumlah karakter baru yang menonaktifkan karakter lama, Mockingjay adalah kekecewaan.

Mengantongi satu nominasi lewat Winter’s Bone saat itu tak membuat Jennifer Lawrence memiliki star power dibandingkan kandidat lainnya saat itu dan keputusan tepat diambil Lionsgate. Trilogi Hunger Games memang semuannya tentang Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence), trilogy ini benar-benar memberikan kesempatan transformasi bagaimana seseorang tanpa konsep “The Choosen One” seperti konsep young adult pada umumnya, bisa merubah dari seseorang yang hanya ingin menyelamatkan adiknya saat proses reaping menjadi sebuah perlambangan penuh sisi kharismatik, ketidakberdayaan atas kondisi, dan rasa bersalah. Dengan harapan yang terburu naik dari Catching Fire sementara sisa peluru yang tersisa adalah yang terlemah, baik Mockingjay Part I dan II merupakan sedikit peningkatan hasil, dan seri ini harus sangat berterimakasih kepada bakat Jennifer Lawrence.

(more…)

Spectre (2015) Has Potential as Game Changer, Head to The Tentacles, Grand Climax, and It All Vanishes

Director : Sam Mendes

Writer : John Logan (screenplay), Neal Purvis (screenplay)

Cast : Daniel Craig, Christoph Waltz, Léa Seydoux

(Review) Untuk seseorang yang tumbuh dengan James Bond dengan sosok Pierce Brosnan, pemilihan James Bond baru, yaitu Daniel Craig, merupakan satu nafas segar tersendiri. Diawali dengan Casino Royale dengan Vesper Lynd yang mengalami nasib naas, terbawa sampai Quantum of Solace yang terlupakan sampai akhirnya kembali dengan top game mereka, Skyfall. Skyfall sendiri tak melakukan banyak sisi groundbreaking dari segi narasinya, namun dengan tangan mantap Sam Mendes, gam-gambar cantik dari Roger Deakins, original song pemenang Academy Award dari Adele, villain yang eksentrik, Skyfall berhasil menjadi film James Bond tersukses baik kritik dan komersial. Tak menjadi kejutan jika mereka mengambil tim yang hampir sama (kecuali editing dan sinematografi), mengolah cerita yang cukup sederhana dari Spectre, tapi petir tak menyambar tempat yang sama dua kali, heh ?

“The deads are alive” – sebuah pernyataan yang memang ingin membuat pernyataan. Opening scene dari Spectre mungkin menjadi bagian film yang terbaik. Opening scene ini masih mengambil usaha untuk melontarkan statement yang akan berkembang seiring durasi berjalan. Lewat scene pengejaran yang gripping, Skyfall berhasil menyelipkan trust issue antara M dan James Bond (Daniel Craig). Disini aksi ini diperbesar skalanya lewat festival di Meksiko dengan segala topeng dan kostum tengkoraknya ditambah dengan kerumunan orang-orang dengan helicopter yang terbang berguling-guling diatasnya, kita mungkin akan sedikit lega dengan dengan absennya Roger Deakins – apalagi satu continuous take panjang cukup menjadi substitusinya. Dan, kemudian bergulirlah lagu ballad dari Sam Smith “Writing’s on The Wall” yang paling tidak masih menyatu dengan sisi sensual dari gulatan gurita penuh dengan keseksian. Dan, semuanya berakhir disana.

(more…)

The Little Prince (2015) : Beautifully Animated Time Capsule for Children and Grown-ups

Director : Mark Osborne

Writer : Irena Brignull (screenplay), Bob Persichetti (screenplay), 1 more credit

Cast : Rachel McAdams, Benicio Del Toro, James Franco, see full cast and crew

(Review) Selalu saja ada perdebatan apakah sebuah animasi hanya bisa memuaskan orang tua atau anak-anak yang mereka ajak ? Dalam kasus Inside Out, film terkadang dinilai terlalu kompleks untuk dimengerti otak-otak muda, sedangkan untuk kasus lainnya semacam Minions, film dinilai terlalu dangkal untuk otak-otak tua yang mengharap lebih dari sekedar hiburan. Namun, disisi lain, animasi memang salah satu media yang bisa mempersatukan orangtua dan anak dalam satu layar yang sama. Disinilah, keputusan The Little Prince dirubah menjadi versi animasi merupakan keputusan yang tepat.

Kita mungkin sering menjumpai orang tua yang memberikan wejangan “tinggi” untuk anak-anak yang memang tak seharusnya mengerti, kuncinya adalah mereka tak perlu mengerti sekarang. Berinvestasi dengan waktu layaknya buku dimana film ini diangkat. The Little Prince aka. Le Petit Prince menjadi buku ketiga yang paling banyak diterjemahkan dalam perjalanan beberapa dekadenya dan telah diubah dalam berbagai medium termasuk play, pertunjukkan balet dan sebagainya. Bertahannya novel ini memang tidak dipungkiri karena membahas hal-hal yang dasar dan terus dialami manusia, tak peduli perubahan zaman yang dilaluinya.

(more…)

The Gift (2015) : Edgerton Presents Nicely Wrapped Thriller and Wicked Twist Inside of It

Director : Joel Edgerton

Writer : Joel Edgerton

Cast : Jason Bateman, Rebecca Hall, Joel Edgerton

(REVIEW) Mendengarkan seorang aktor atau aktris ingin memiliki profesi ganda sebagai seseorang di balik layar seperti sutradara memang ada excitement tersendiri sekaligus terbesit pikiran, “Well, good luck”- not in a good way. Namun, untuk Joel Edgerton, talent dari benua Australia yang dikenal lewat Exodus, Warriors, Animal Kingdom, sampai performa baiknya sebagai anggota FBI yang korup di Black Mass, The Gift cukup menjadi ajang pembuktian debutan bahwa seorang aktor juga bisa menyutradari sebuah film yang cukup intens, pandai, terbungkus dengan rapi lewat bungkusan-bungkusan yang kompleks, yang menjadikan The Gift bukanlah film stalker – thriller yang biasa.

Apa yang terjadi di SMA, tak pernah tinggal di SMA, yep ! Fase ini merupakan sebuah fase penting dalam kehidupan seseorang, ibarat sebuah pintu yang menghadap pada masa depan secara langsung. Itulah yang menjadi permasalahan dalam The Gift. (more…)

Crimson Peak (2015) : Grandiose Production Design, Guillermo Del Toro’s Vision and What Went Wrong ?

Director : Guillermo del Toro

Writer : Guillermo del Toro

Cast : Mia Wasikowska, Jessica Chastain, Tom Hiddleston, Charlie Hunnam

(REVIEW) Tahun 2015 merupakan tahun yang begitu menggembirakan untuk genre horor; diawali dengan film dengan sukses kritik semacam It Follows yang menawarkan konsep menarik, Unfriended yang menggunakan medianya sendiri, atau semacam Creep yang sederhana namun begitu efektif, dan Insidious Chapter 3 yang paling tidak bisa meneruskan franchisenya di tengah jatuhnya film remake atau sekuel seperti Poltergeist dan Sinister 2. Namun, yang menjadi film diantisipasi nomor satu dalam genre ini tidak lain tidak bukan ketika Guillermo Del Toro memutuskan untuk menyutradarai film rumah berhantu : Crimson Peak dengan jajaran aktor yang luar biasa.

Menjelang perilisannya, sang sutradara mengumumkan lewat akun twitternya yang barus saja ia buat bahwa Crimson Peak bukanlah film horor, dan lebih menekankan bahwa film ini lebih jatuh pada gothic romance dengan momen-momen yang intens. Sangat nampak jelas memang ketika film berawal film langsung memberikan visual hantu CGI yang kelewat kasat mata, dan ditambahkan ucapan sang karakter bahwa “Ghosts are real.” dilengkapi dengan kalimat di momen yang lain bahwa ini bukan cerita hantu melainkan cerita dengan hantu di dalamnya.

(more…)