Judi Dench

Notes on a Scandal (2006) : Aphrodisiac Thriller of Battle Axe and Seductive Teachers

Director : Richard Eyre

Writer : Patrick MarberZoe Heller

Cast : Cate BlanchettJudi DenchAndrew SimpsonBill Nighy

“By the time I took my seat in the Gods, the opera was well into its final act.”

First of all, Jason Reitman tertarik untuk menyutradarai film ini. Kedua, film ini mempertemukan dua aktris yang benar-benar UP di tahun ini (untuk Oscar terutama). Ketiga, di film ini Judi Dench bermain sebagai, yeah bisa dikatakan psychopath. What else do you want ? Oh yeah, plus 4 nominasi Oscar.

Barbara Covett (Judi Dench), seorang guru sejarah di sebuah sekolah, dingin namun sangat dihormati, menghabiskan sebagian waktunya dengan banyak menganalisis banyak hal yang ia lihat, yang ia rasakan. Begitu kesepiannya dia, seakan-akan apa yang ia analisis begitu dalam dan juga enganging, terutama ketika ia mulai memperhatikan seseorang yang ia duga mengandung potensi untuk berteman dengannya. Yeah, ia adalah Sheba Hart (Cate Blanchett), guru seni di umurnya yang thirty something yang benar-benar kewalahan menangani anak-anak didiknya. Ketika keduannya mulai bersahabat, Barbara menguak rahasia affair antara Sheba dan salah satu siswanya, Steven Connoly (Andrew Simpson). Sebuah skandal yang tidak hanya menyeret persahabatan mereka berdua, namun mengancam karir dan rumah tangga Sheba dengan suaminya (Bill Nighy), dan juga menguak siapakah Barbara Covett sebenarnya.

Seductive thriller, or erotic thriller, yeah mungkin langsung bisa dikaitkan dengan Fatal Attraction atau Poison Ivy, dan hebatnya film ini adalah film ini bukanlah sebuah erotic thriller, namun terdapat cukup sensasi saat menontonnya, yang membuat film ini bisa dikatakan sebagai sebuah erotic, uhm, revise, seductive thriller. Objek perselingkuhan, atau seks, atau mungkin juga lesbian yang sarat dan biasanya ada di mini genre ini hanyalah sebagai jembatan atau media untuk menciptakan sebuah cerita yang tidak hanya seksi namun juga mengandung sedikit strategi sebuah tindakan aksi-reaksi terutama sebagai sebuah deskripsi studi karakter utama, Barbara Covett.

Judi Dench benar-benar melahirkan sebuah karakter yang sangat sensitif untuk penonton. Melihat sebuah aksi balik atau side effect dari sebuah kesepian, melihat lebih dalam tentang sebuah arti “obsesi”, dan seperti me-redefine arti psycho atau variasi kegilaan yang dimiliki oleh seseorang. Sebuah karakter “dingin” namun diimbangi dengan penjelasan karakter lewat diary yang ditulisnya, menjadi karakter ini begitu absorbing untuk penonton, dan juga sekaligus penetrasi ini membuat karakter Barbara Covett ini menjadi sebuah karakter yang berkali lipat lebih menakutkan. Hebatnya seorang Judi Dench, eksekusinya sebagai seorang Barbara Covett tidak menghilangkan karakter subtle-nya sebagai seorang aktris, she makes this character so easy to be performed. This is one of my favorite performances of her. Film ini membuktikan bahwa seorang aktris hebat mampu menghindari sebuah stereotype untuk karakter yang biasanya terjebak pada satu istilah “REALLY PSYCHOTIC BUNNY BOILER”, thanks to Glenn Close too.

Film ini merupakan sebuah kejutan dari sebuah karakter study seorang Barbara Covett, menggiring kita pada arah karakter-karakter erotic thriller, namun kemudian men=transformasikannya ke dalam sebuah karakter yang lebih real, lebih kompleks, lebih berani, tanpa sedikit pun kehilangan sebuah karakter yang mampu memompa adrenaline pada genre thriller. This is one of very precise character.

Cate Blanchett, juniornya, juga mendapatkan peran yang sedikit tricky, seorang wanita yang mengalami fase “good girl gone bad”, Sheba Hart merupakan sebuah karakter yang seductive, stylish, sexy, tanpa ada rasa untuk mencoba begitu trashy ataupun nasty. Berbeda dengan karakter Barbara Covett yang memang secara konsisten dipertunjukkan sebagai sebuah karakter monoton (wonderfully in good way), Sheba Hart merupakan sebuah karakter yang berubah sesuai dengan apa yang dialaminya. Kebingungan, guilty pleasure, pressure dari rekannya, juga sisi keibuannya dari seorang anak Dawn Syndrome, benar-benar bisa direngkuh Blanchett.

Perang diantara keduannya bisa dikatakan merupakan sebuah sajian yang benar-benar memperlihatkan bahwa film ini merupakan sebuah showcase yang mengasah kemampuan akting kedua aktris utamanya. Walaupun tidak bisa dikatakan sebagai sebuah “mouse-cat game”, karena memang karakter Sheba Hart terlalu decent, terlalu pasif, dan terlalu nerimo untuk menanggapi perang diantara keduannya. Namun, setiap konfrontasi, setiap konflik diantara keduannya merupakan sebuah top notch performance yang sangat langka sekaligus elegan dan berkelas.

“You live in a flat off the Archway Road and think you’re Virginia Woolf ?” merupakan sebuah best line yang akhirnya dihantarkan oleh Blanchett setelah karakternya benar-benar direndam disepanjang film, sebuah konfrontasi final dengan Judi Dench yang membuktikan bahwa di umurnya yang tidak muda lagi, Judi Dench masih mumpuni untuk menjalani scene-scene yang demanding. This scene is priceless.

Big surprise, datang dari sebuah karakter kecil dari Bill Nighy, yeah, sepanjang melihat aktor yang satu ini sepertinya selalu kedapatan menonton peran yang menyenangkan. Namun, di Notes on a Scandal, Bill Nighy keluar dari karakter “easy going” dan menyenangkannya, namun juga bisa benar-benar pas memainkan suami dari Cate Blanchett yang tidak bisa memuaskan istrinya, well done Mr. Nighy. Sedangkan karakter lainnya, yaitu Andrew Simpson kurang bisa meninggalkan impression, walaupun tetap saja untuk berhadapan dengan Blanchett (termasuk sex scene) memang tidak mudah.

Plus, another plus of this movie, sutradara membiarkan film berjalan, tanpa banyak menambahkan gimmick atau sesuatu yang terlihat ambisius, bahkan camerawork pun terkesan tida spesial, namun disinilah saatnya memang menonjolkan akting para aktornya, plus scoring yang menambah film ini bertambah thrilling and sexy. This is a precious, precise note for Notes on a Scandal.

“Oh, Judi Dench, this is just wow.”

Never Over The Hill and Wrinkleproof Performances : Nebraska (2013), Philomena (2013), and Gloria (2013)

“Meryl Streep, so briliant in August Osage County, proving that there are still great parts in Hollywood for Meryl Streeps over 60.” – Tina Fey joked on Streep in this year Golden Globe.

Yeah, hal ini tentu saja bisa dikatakan sangat benar, dan tidak hanya berlaku untuk Meryl Streep. Para aktor dan aktris yang sepertinya tidak ingin mendekati kata pensiun ini malah mendapatkan pujian atas performance mereka di usia mereka yang sudah tidak muda lagi. Berikut beberapa film yang menampilkan aktor atau aktris dengan penampilan “ageless” mereka. Nebraska dan Philomena masuk ke dalam nominasi Best Picture Oscar tahun ini, Gloria juga merupakan official submission untuk Oscar dari negara Chili, banyak yang memprediksi film ini akan berhasil menembus nominasi walaupun sepertinya hal itu tidak terjadi.

Director : Alexander Payne

Writer : Bob Nelson

Cast : Bruce DernWill ForteJune Squibb

Life is a long road, life is cruel, sepertinya inilah yang terlintas di pikiran ketika melihat Woody Grant (Bruce Dern) terlihat berjalan di kejauhan dengan niatan pergi ke Nebraska untuk mengambil hadiah berupa satu juta dollar yang ia menangkan dari sebuah majalah. Woody yang bekas tentara perang ini sepertinya “tidak mengerti” ketika David (Will Forte), anaknya, dan Kate (June Squibb), istrinya ingin menyadarkan bahwa hal tersebut hanya strategi marketing saja. Ketika David melihat sang ayah terus bertekad meng-claim hadiahnya, ia pun bersedia mengantarkan sang ayah walaupun tanpa persetujuan Ibunya. Perjalanan yang seharusnya menjadi road trip singkat ini pun menjadi kesempatan anak-ayah untuk menghabiskan waktu bersama dan juga membuka masa lalu sang ayah ketika mereka mengunjungi kampung halaman sang ayah.

“I always associate something serene with boredom, but luckily, not Nebraska”

Pertama kali melihat film ini, langsung pertanyaan yang terlintas adalah mengapa film ini harus dihadirkan dalam warna hitam putih ? Pertanyaan ini terus menerus terngiang di kepala hingga akhirnya menemukan satu jawaban. Simplicity. Yeah, kesederhanaan berusaha dihadirkan oleh film ini lewat pilihan warna terbatas, karakter-karakter yang bisa dikatakan “dekat” dengan kehidupan kita sehari-hari namun dikemas menjadi sebuah sajian yang menghangatkan hati. Atmosfer yang serene, calm, damai ini sekan-akan berjalan beriringan dengan energi yang yang tidak muda lagi, berkaitan dengan jalan cerita. Bisa dibayangkan, nuansa hitam putih, manula, road trip, yeah sepertinya sesuatu yang membosankan bukan ? Namun, tidak untuk Nebraska. Lewat packaging yang cenderung simple ini, film ini mampu menghadirkan sebuah sajian tentang hubungan ayah dan anak yang terkesan biasa saja namun sebenarnya penuh dengan fokus tentang sisi kehidupan.

Tentu saja, penggambaran tentang “hidup” ini tidak akan dirasakan oleh penonton jika penonton tidak merasa dekat ataupun merasa real dengan karakter-karakter yang terlihat. Disinilah, penggambaran karakter oleh screenplay yang disediakan Bob Nelson mengambil peran. Tidak perlu karakter yang aneh-aneh, Bob Nelson memulai karakter di filmnya mulai dari bentuk yang paling sederhana kemudian disertakan layer-layer yang demi sedikit terbuka membuat karakter-karakter ini tidak terasa dangkal.

Anak dan ayah yang memang bisa dikatakan berbeda generasi ini merupakan representasi dari dua karakter yang berbeda. Tidak hanya dari segi umur, namun tentu saja dari cara pandang mereka. Biasanya anak digambarkan sebagai karakter yang immature, namun Nebraska sepertinya ingin membalik hal tersebut. Woody Grant selayaknya “anak kecil” yang harus diawasi, disupervisi oleh sang anak, terus-terusan, dan benar-benar menguji kesabaran dan juga kematangan sang anak. Peran David, yang dilakoni komedian SNL Will Forte ini merupakan karakter yang sangat pas, sabar namun tidak terkesan terlalu sabar, masih dibatas wajar. Kehadiran David sebagai tokoh berbakti ini merupakan wujud bagaimana Nebraska menarik karakter Woody ke dalam realita namun dengan cara yang sangat halus dan tidak kurang ngajar.

Who’s the old fellas ?
Bruce Dern, aktor berusia 77 tahun ini mampu hadir sebagai seorang alkoholik yang terkesan powerless, namun stubborn dalam waktu yang bersamaan, tidak banyak bicara dan menampilkan sisi harapan dari film ini, beberapa ekspresi terkesan “clueless by aging” dan penonton seakan-akan ditantang untuk menebak apa yang sebenarnya berada dalam pikirannya, namun tetap berada dalam level “reasonable”. Clueless namun juga harus tetap tampil meyakinkan, sepertinya karakter yang satu ini merupakan karakter yang rumit dan juga tidak akan bisa direpresentasikan oleh aktor yang lemah, tidak sebuah kejutan jika Bruce Dern memang layak dinominasikan dalam Oscar tahun ini. Karakter inilah yang memiliki banyak layer masa lalu yang harus dikupas perlahan oleh sang anak.

Another fella, June Squibb, aktris 84 tahun ini memiliki peranan penting dalam cerita dan bisa dikatakan mewakili sisi “neglectful” yang harus diterima oleh Woody Grant. Penuh dengan sisi negatif, termasuk mulutnya yang tidak sebanding dengan umurnya, namun juga diimbangi dengan sisi keibuan, sisi yang menyeret Woody ke realitas dengan kasar namun tetap relevan. Kate Grant adalah ibu yang memiliki cara tersendiri untuk menyayangi anak-anaknya. June Squibb is the perfectly fit actress for this role.

Bittersweet memory, alasan lain mengapa film ini berada dalam warna hitam-putih mungkin karena film ini mengupas masa lalu Woody, membawa lagi Woody ke masa lalu. Selayaknya sebuah kanvas yang telah dilukis, kemudian dihapus, kemudian berusaha dilukis dengan gambar yang sama, scene dimana Woody mengunjungi rumah masa kecilnya merupakan scene nostalgia yang terasa sangat hidup di tengah space-space usang rumah kosong. Scene lmenghibur dan kocak juga dihadirkan lewat adegan pencurian kompresor yang tidak hanya lucu, namun juga manis dalam waktu yang bersamaan. Film ini pintar dalam menghadirkan sisi kemedinya, membawa penonton ke arah serius kemudian mengejutkan penonton dengan adegan lucu tersebut, membuat adegan-adegan ini menjadi sesuatu yang “unexpected”. Kesempatan mengeksplor hubungan ayah dan anak inipun dimaksimalkan dan ditutup dengan ending menyentuh, masih terasa “unexpected” namun tetap real.

Kembali lagi, Nebraska merupakan sajian sederhana dengan energi yang “properly” on-beat, masuk ke dalam penonton dengan karakter nyata, serta jalan cerita yang menyentuh.

Director : Stephen Frears

Writer : Jeff PopeSteve Coogan

Cast : Judi DenchSteve Coogan

Mother’s love is forever. Yeah, mungkin itulah yang dilakukan oleh Philomena Lee (Judi Dench) selama 50 tahun terakhir memikirkan anaknya yang hilang, atau lebih tepatnya lost contact karena operasi sebuah gereja. Philomena muda harus rela anaknya diadopsi tanpa tahu siapakah sang pengadopsi, dan sama sekali tidak ada informasi yang bisa membawanya ke anaknya, Anthony. Sementara itu, seorang jurnalis baru saja kehilangan pekerjaannya, Martin Sixthman (Steve Koogan) dan berniat untuk menerbitkan buku, hanya saja ia belum yakin benar cerita apa yang akan ia angkat. Ketika ia bertemu dengan Philomena, ia pun mau menjembatani Philomena untuk menemukan anaknya dengan “syarat” cerita Philomena ini bersedia untuk dipublish. Perjalanan mencari anak yang telah hilang selama 50 tahn ini pun menjadi serangan demi serangan hati Philomena sebagai seorang ibu.

“As strong as its steel-y story.”

Jila ditilik kembali, Philomena bisa dikatakan merupakan nominasi Best Picture yang paling “dalam” diantara yang lainnya. Yeah, hal ini disebabkan mungkin Philomena sedikit banyak menyinggung masalah “konsep keimanan” yang dihubungkan dengan “pertanyaan tentang agama”. Sama seperti Nebraska, Philomena merupakan road trip (hanya saja dengan pesawat) yang menghubungkan dua karakter bertolak belakang dalam satu waktu. Philomena dideskripsikan sebagai penganut katholik yang baik sedangkan Martin Sixthman digambarkan sebagai seseorang yang kritis dan penuh pertanyaan tentang agama dan membuatnya memang terkesan tidak percaya dengan keberadaan Tuhan.

Menarik ? Yeah, menarik, sisi menarik dari Philomena adalah sebuah cerita yang kuat (sangat kuat) untuk diceritakan, powerful, disertakan dengan banyak elemen penting yang sangat serius seperti faith, religion, sins, namun kemudian dikombinasikan dengan unsur humor dan charm yang berasal dari screenplay yang ditulis sendiri oleh Steve Koogan. Walaupun pendekatan tone yang “lebih dark” juga akan tetap masuk untuk cerita yang seperti ini, namun tone yang tidak melupakan sisi menghibur ini merupakan sajian yang ternyata cocok juga disajikan dengan sesuatu yang “sangat” serius. Tone ini membuat film ini malah terasa personal dan real untuk menceritakan sebuah cerita yang mungkin jika orang mendengar tidak akan percaya dengan kebenarannya.

Who’s the old fella ?
Siapakah yang tidak mengenal Judi Dench, paling tidak semua orang pernah melihatnya sebagai M di franchise James Bond. Di usianya yang hampir menginjak 80 tahun, Judi Dench masih saja mengambil peran-peran dalam film, walaupun memang sepertinya pilihannya semakin terbatas. Judi Dench sebagai Philomena merupakan performer paling subtle, disejajarkan dengan Sandra Bullock, untuk nominasi Best Performance in Leading Role Oscar tahun ini. Tidak hanya subtle, Judi Dench memberikan penampilan paling “heartbreaking” sebagai seorang ibu yang kehilangan anaknya selama 50 tahun, dan terus-terusan merasa bersalah akan hal tersebut. Beberapa moment, Judi Dench memberikan silent performance, in controll, dan memberikan kesempatan untuk penonton untuk meng-interpretasikan perasaannya ketimbang ia harus berkoar-koar terlalu powerful memainkan karakter Philomena. Sebuah penampilan yang bijak, terutama ketika Philomena selayaknya karakter tameng dan penetral untuk membuat film ini tidak terkesan depresif. Philomena selalu memberikan sisi positif terhadap setiap serangan yang diakibatkan dari pencarian ini. Judi Dench juga memang pada dasarnya memiliki natural charm yang membuatnya tidak harus memberikan ekspresi lucu untuk menyampaikan sesuatu yang lucu. Sama halnya dengan penampilannya sebagai Evelyn di The Best Exotic Marigold Hotel, Judi Dench tidak perlu mengeluarkan otot, urat untuk memberikan penampilan yang terbaik. She’s just wise like her character.

Salah satu hal yang paling disukai adalah bagaimana film ini turut menyelipkan potongan-potongan scene tentang anak Philomena, Anthony, selayaknya proyektor yang bermain sendiri di kepala Philomena, men-sugestikan bahwa anaknya baik-baik saja. Yeah, I like this thing, basically, we are just living projector, right ?

Crowd pleaser, memang sepertinya film ini crowd pleaser, namun dengan embel-embel “Based on True Story”, film ini mengangkat dirinya sendiri untuk menjadi meyakinkan. Ketika sebagian besar film mengeluarkan tensi-nya di ending film, ending film ini seperti kegiatan relaksasi tentang apa yang sudah terjadi di sepanjang film. Banyak pelajaran berharga yang di dapat dari film ini, sesuatu yang terkesan klise namun ditampilkan dengan meyakinkan. Salah satunya adalah tentang forgiveness, untuk memberikan sebuah penggambaran yang lebih luas, reaksi antara karakter Martin Sixthman dan Philomena merupakan sesuatu yang menarik untuk disimak.

It’s not about searching a person, it’s about searching a person in your mind, because that is the only thing that matters. Film ini bukanlah sebuah pencarian seseorang, oleh karena itu film ini memang tidak terlalu investigatif (yeah, it’s not detective movie). Film ini lebih berkutat pada proses pencarian ini yang menekankan pada hubungan Philomena dan juga Martin Sixthman sebagai dua orang yang berbeda yang menanggapi sesuatu yang sama. Cerita kemudian lebih merasuk ke dalam pikiran Philomena, bagaimana kemudian ia harus terus menerus menyelaraskan ekspektasi yang ada di pikirannya dengan realita yang sudah ada.

Director : Sebastián Lelio

Writer : Sebastián LelioGonzalo Maza

Cast : Paulina GarcíaSergio Hernández

Okay, dibandingkan dengan Judi Dench atau Bruce Dern mungkin Paulina Gracia bisa dikatakan “muda” jika dilihat dari usianya yang masih berada pada rentang 50-an. Namun, sepertinya di Holywood sekalipun, aktor aktris yang telah berumur diatas 50-an juga sudah mulai pilah-pilih peran yang mungkin lebih cocok atau pantas dengan usianya. Namun, berbeda dengan Paulina Gracia disini.

Gloria (Paulina Gracia), seorang janda yang telah ditinggalkan oleh anak-anaknya dan memiliki cara tersendiri untuk mengatasi kesendiriannya. Ia masih berpesta, ia masih saja berdansa, ia juga masih berkencan, melakukan yoga, ke salon, di umurnya yang sudah menginjak 58 tahun. Gloria juga menjalani kehidupannya dengan rutin, malam berpesta, siang bekerja, kemudian tidur di tempat tinggalnya yang sempit. Gloria sepertinya mulai menemukan energi mudanya ketika ia bertemu dengan duda, Rudolfo (Sergio Hernandez) yang masih memiliki ketergantungan dengan mantan istri dan kedua anaknya. Hubungan mereka pun menginjak ke tahap demi tahap, dan Gloria pun harus menghadapi masalah di tengah fisiknya yang tidak muda lagi.

“Crazily mundane, but not pathetic. It’s like a day with Gloria.”

Gloria merupakan sebuah portrayal seorang wanita yang masih memiliki energi untuk melakukan segala sesuatu. I said “masih” instead of “terjebak”, karena, yes, it’s crazily mundane, namun apa yang coba digambarkan Gloria bukanlah bentuk sebuah ketidakmatangan seorang perempuan, namun lebih ke sebuah lifestyle yang memang ingin dijalani oleh perempuan berusia 58 tahun ini.

Who’s the old fella ?
Pathetic ? I don’t find it pathetic. It’s not crisis. Gloria lebih masuk ke dalam sebuah karakter yang menjalani hari-harinya di tengah segala masalahnya, ketimbang sebuah karakter yang mengalami “bullying” dari segi cerita yang membuat karakter ini merasa dikasihani. Di sisi inilah mungkin, Gloria begitu berbeda dengan film-film dengan cerita yang serupa. Disinilah yang spesial, Gloria tidak akan sukses tanpa kehadiran seorang Paulina Gracia yang sangat “lebih dari cukup” untuk membawa beban energi di sepanjang film. Walaupun usianya baru sekitar 55 tahun, namun komitmen yang diberikan oleh Paulina Gracia melebihi dari aktris-aktris yang mungkin sudah berada pada rentang usia yang sama. Nudity ? She’s totally into it sampai beberapa scene yang masih memerlukan vitalitas dari fisik Paulina yang sudah tidak muda lagi.

Gloria merupakan sebuah film yang benar-benar ingin menikmati sebuah proses penceritaan. No shortcut. Film ini memang tipikal film-film festival dan memang tidak diperuntukkan untuk semua orang. Setiap scene dilakukan dengan sangat sabar, setiap scene menceritakan setiap detail dari kehidupan Gloria tanpa harus memasukkan setiap motif dalam setiap scene-nya. Sisi ini membat Gloria memang terkesan nyata, jujur, namun di sisi lain, untuk penonton yang tidak sabar, Gloria mungkin hanya akan dianggap sebagai sebuah sajian yang membosankan.

Gloria juga selayaknya character study singkat yang tidak ingin show-off, lewat penyajian dua karakter berbeda yang memiliki tingkat kedewasaan emosi yang berbeda walaupun berada dalam rentang usia yang sama. Karakter Rudolfo adalah karakter yang mungkin hanya akan hadir di masa muda Gloria, he’s a douchebag, tidak stabil, dan memanfaatkan keberadaan Gloria. Perwakilan dua orang usia lanjut ini merupakan bentuk penggambaran yang unik.

This movie is not for everybody, but still a good portrayal for one unique woman.

So that’s it, beberapa film yang menampilkan performer yang tidak muda lagi namun masih memberikan penampilan yang maksimal dengan cara mereka masing-masing. If I have to grade it, Philomena > Nebraska > Gloria

Skyfall (2012) : M is Being Haunted by Her Past, 007 is Being Tested

Sutradara : Sam Mendes

Penulis : Neal Purvis, Robert Wade, John Logan, Ian Fleming

Pemain : Daniel Craig,  Judi Dench, Javier Bardem, Ralph Fiennes, Naomie Harris

“This is what called Sam Mendes brings Bond’s Beauty with beautiful thrilling haunting shots and beautiful villain by Javier Bardem.”

About

Film ini merayakan super series yang telah sukses mendunia selama 50 tahun. Film Bond ke-23 ini dibintangi dan sutradarai oleh pelaku kawakan yang sukses menyabet Oscars, sebut saja Judy Dench, Sam Mendes, Javier Bardem dengan tokoh Bond yang berhasil menghidupkan series ini selepas ia mendapatkan peran ini dari Pierce Brosnan, Daniel Craig. Tidak lupa Ralph Fiennes yang turut serta dalam film ini sebagai Gareth Mallory.

Film diawali dengan aksi kejar-kejaran Bond dan Moneypenny (Naomie Harris) dengan orang yang diduga membawa list rahasia tentang penyamaran agent-agent di organisasi dunia. M dengan ketegasannya mengambil sebuah keputusan sulit dengan menyuruh Moneypenny menembak sasaran walaupun resikonya Bond ikut tertembak. Ternyata benar, Bond tertembak dan hilang, diduga mati. Film pun diikuti dengan opening scene khas Bond yang diiringi dengan lagu Skyfall besutan penyanyi Inggris Adele.

Film dilanjutkan dengan terror yang dilakukan oleh Silva (Javier Bardem) yang ternyata mempunyai masa lalu kelam dengan M. Disinilah, kesetiaan dan perjuangan Bond untuk menyelamatkan M diuji.

Beautiful shots, beautiful villain with sense of thrills and humour

Film yang berhasil mengambil tempat-tempat eksotis seperti Shanghai, Macau, Turkey dan lain-lain ini benar-benar digarap dengan cantik, sebuah film Bond dengan kombinasi eye popping secara action yang menegangkan dan pemandangan yang indah. Film Bond ini juga mengkombinasikan jalan cerita yang thrilling dengan banyak dialog lelucon disana-sini.

Penunjukkan Javier Bardem sebagai tokoh antagonis utama juga terlihat mempesona dengan karakter yang kuat dan dan dapat menunjukkan rasa dendam yang begitu besar dengan caranya sendiri. Karakter Silva ini membuat Bardem menjadi begitu berbeda dengan peran-peran sebelumnya (mungkin juga karena pengaruh rambut yang ia ganti menjadi blonde). Film terasa lebih mengalir sejak kemunculan karakter Silva ini. Karakter Q diperlihatkan dalam film ini diperankan oleh Ben Whishaw walau tidak memberikan kontribusi berarti karena sang villain jauh memperlihatkan kepintarannya.

Bond’s girls diwakili oleh Naomie Harris dan aktris perancis Berenice Marlohe menjalankan perannya dengan baik dengan memberikan sentuhan sangat sexy walaupun porsinya tidak sebegitu besar karena porsi Bond’s Girl dalam film ini direbut Judi Dench atau M itu sendiri. Karakter M lebih dieksplor dengan baik oleh Judi Dench dengan mengkombinasikan seorang wanita tegar penuh tanggung jawab terhadap negara dan wanita yang merasa ketakutan dihantui oleh masa lalunya.

Film yang digadang-gadang sebagai salah satu Bond terbaik ini tidak begitu melibatkan gadget-gadget yang aneh jadi alur cerita terasa lebih real dan mudah diterima akal, walaupun Bond masih dihadapkan pada situasi yang menekankan bahwa memang dia mempunyai ‘seribu nyawa’. Film ini diakhiri dengan ending yang sangat klimax dan memuaskan penonton yang telah menunggu selama durasi lebih dari dua jam.

Trivia

Film ketujuh bagi Judi Dench sebagai M dan film ketiga bagi Daniel Craig. Daniel Craig telah menyetujui untuk membintangi Bond 24 dan Bond 25, serta ada rumor bahwa Idris Elba akan mendapatkan peran ini. Will we get a black Bond ?

Quote

James Bond : Everyone needs a hobby.

Silva : So what’s yours ?

James Bond : Ressurection

The Best Exotic Marigold Hotel (2012) : Many Characters, Ensemble Cast and Its Each Problem

Sutradara : John Madden

Penulis : Ol Parker (screenplay), Deborah Moggach (novel)

Pemain : Judi DenchBill Nighy, Tom Wilkinson and Maggie Smith

 “Not the best one, forgettable enough but entertain enough.”

 About

The Best Exotic Marigold Hotel adalah film komedi dengan ensemble cast dan sebagian besar diperankan oleh actor aktris Inggris. Film ini diadaptasi dari buku These Foolish Things dari penulis Inggris pula, Deborah Moggach. Dibintangi oleh pemenang Oscars seperti Judi Dench dan Maggie Smith serta nominasi Oscar Tom Wilkinson ditambah artis kawakan lainnya seperti Bill Nighy, Ronald Pickup dan Penelope Wilton menjadikan film ini sebagai salah satu film yang wajib ditonton.

Dengan arahan sutradara John Madden, yang sebelumnya menyutradarai film thriller The Debt, film ini berkisah tentang sekumpulan pensiunan dari Inggris yang memutuskan untuk menjalani hidup di semrawutnya kota Jaipur, India. Ketujuh dari pensiunan ini memiliki problem yang sama, bahwa di usia yang telah senja, mereka merasa akhir dari hidup mereka kurang baik. Dengan karakter, kegiatan menghabiskan waktu di Jaipur dan masalah mereka masing-masing, mereka semua berusaha mencari akhir yang baik di usia mereka yang telah tidak muda lagi.

Just So-So Movie

Sebagian besar film dengan ensemble cast dan menyajikan ensemble problems dari masing-masing karakter akan bermasalah dengan kurang dalamnya eksplorasi dari masing-masing karakter. Syukurlah, bahwa masalah dari tiap karakter yang dihadirkan dalam film ini sifatnya tidak berlebihan dan diakhiri dengan solusi yang tidak berlebihan pula, sehingga menciptakan setiap cerita yang pas dan tidak nanggung seperti pada kebanyakan film serupa.

Film ini tidak membosankan, walaupun keseluruhan cerita tidak ‘wow’ dan aktor-aktor luar biasa ini terkadang seperti ‘jalan ditempat’ dengan screenplay yang dihadirkan. Intinya bahwa film ini cukup menghibur namun cukup mudah dilupakan pula.

Trivia

Judy Dench dan Maggie Smith adalah keduannya berusia 78 tahun, keduannya merupakan aktris tertua di film ini dan keduannya sama-sama pernah meraih Oscar.

Quote

Sonny   : Everything will be all right in the end. So if it is not all right, then it is not yet the end.