“Meryl Streep, so briliant in August Osage County, proving that there are still great parts in Hollywood for Meryl Streeps over 60.” – Tina Fey joked on Streep in this year Golden Globe.
Yeah, hal ini tentu saja bisa dikatakan sangat benar, dan tidak hanya berlaku untuk Meryl Streep. Para aktor dan aktris yang sepertinya tidak ingin mendekati kata pensiun ini malah mendapatkan pujian atas performance mereka di usia mereka yang sudah tidak muda lagi. Berikut beberapa film yang menampilkan aktor atau aktris dengan penampilan “ageless” mereka. Nebraska dan Philomena masuk ke dalam nominasi Best Picture Oscar tahun ini, Gloria juga merupakan official submission untuk Oscar dari negara Chili, banyak yang memprediksi film ini akan berhasil menembus nominasi walaupun sepertinya hal itu tidak terjadi.
Director : Alexander Payne
Writer : Bob Nelson
Cast : Bruce Dern, Will Forte, June Squibb
Life is a long road, life is cruel, sepertinya inilah yang terlintas di pikiran ketika melihat Woody Grant (Bruce Dern) terlihat berjalan di kejauhan dengan niatan pergi ke Nebraska untuk mengambil hadiah berupa satu juta dollar yang ia menangkan dari sebuah majalah. Woody yang bekas tentara perang ini sepertinya “tidak mengerti” ketika David (Will Forte), anaknya, dan Kate (June Squibb), istrinya ingin menyadarkan bahwa hal tersebut hanya strategi marketing saja. Ketika David melihat sang ayah terus bertekad meng-claim hadiahnya, ia pun bersedia mengantarkan sang ayah walaupun tanpa persetujuan Ibunya. Perjalanan yang seharusnya menjadi road trip singkat ini pun menjadi kesempatan anak-ayah untuk menghabiskan waktu bersama dan juga membuka masa lalu sang ayah ketika mereka mengunjungi kampung halaman sang ayah.
“I always associate something serene with boredom, but luckily, not Nebraska”
Pertama kali melihat film ini, langsung pertanyaan yang terlintas adalah mengapa film ini harus dihadirkan dalam warna hitam putih ? Pertanyaan ini terus menerus terngiang di kepala hingga akhirnya menemukan satu jawaban. Simplicity. Yeah, kesederhanaan berusaha dihadirkan oleh film ini lewat pilihan warna terbatas, karakter-karakter yang bisa dikatakan “dekat” dengan kehidupan kita sehari-hari namun dikemas menjadi sebuah sajian yang menghangatkan hati. Atmosfer yang serene, calm, damai ini sekan-akan berjalan beriringan dengan energi yang yang tidak muda lagi, berkaitan dengan jalan cerita. Bisa dibayangkan, nuansa hitam putih, manula, road trip, yeah sepertinya sesuatu yang membosankan bukan ? Namun, tidak untuk Nebraska. Lewat packaging yang cenderung simple ini, film ini mampu menghadirkan sebuah sajian tentang hubungan ayah dan anak yang terkesan biasa saja namun sebenarnya penuh dengan fokus tentang sisi kehidupan.
Tentu saja, penggambaran tentang “hidup” ini tidak akan dirasakan oleh penonton jika penonton tidak merasa dekat ataupun merasa real dengan karakter-karakter yang terlihat. Disinilah, penggambaran karakter oleh screenplay yang disediakan Bob Nelson mengambil peran. Tidak perlu karakter yang aneh-aneh, Bob Nelson memulai karakter di filmnya mulai dari bentuk yang paling sederhana kemudian disertakan layer-layer yang demi sedikit terbuka membuat karakter-karakter ini tidak terasa dangkal.
Anak dan ayah yang memang bisa dikatakan berbeda generasi ini merupakan representasi dari dua karakter yang berbeda. Tidak hanya dari segi umur, namun tentu saja dari cara pandang mereka. Biasanya anak digambarkan sebagai karakter yang immature, namun Nebraska sepertinya ingin membalik hal tersebut. Woody Grant selayaknya “anak kecil” yang harus diawasi, disupervisi oleh sang anak, terus-terusan, dan benar-benar menguji kesabaran dan juga kematangan sang anak. Peran David, yang dilakoni komedian SNL Will Forte ini merupakan karakter yang sangat pas, sabar namun tidak terkesan terlalu sabar, masih dibatas wajar. Kehadiran David sebagai tokoh berbakti ini merupakan wujud bagaimana Nebraska menarik karakter Woody ke dalam realita namun dengan cara yang sangat halus dan tidak kurang ngajar.
Who’s the old fellas ?
Bruce Dern, aktor berusia 77 tahun ini mampu hadir sebagai seorang alkoholik yang terkesan powerless, namun stubborn dalam waktu yang bersamaan, tidak banyak bicara dan menampilkan sisi harapan dari film ini, beberapa ekspresi terkesan “clueless by aging” dan penonton seakan-akan ditantang untuk menebak apa yang sebenarnya berada dalam pikirannya, namun tetap berada dalam level “reasonable”. Clueless namun juga harus tetap tampil meyakinkan, sepertinya karakter yang satu ini merupakan karakter yang rumit dan juga tidak akan bisa direpresentasikan oleh aktor yang lemah, tidak sebuah kejutan jika Bruce Dern memang layak dinominasikan dalam Oscar tahun ini. Karakter inilah yang memiliki banyak layer masa lalu yang harus dikupas perlahan oleh sang anak.
Another fella, June Squibb, aktris 84 tahun ini memiliki peranan penting dalam cerita dan bisa dikatakan mewakili sisi “neglectful” yang harus diterima oleh Woody Grant. Penuh dengan sisi negatif, termasuk mulutnya yang tidak sebanding dengan umurnya, namun juga diimbangi dengan sisi keibuan, sisi yang menyeret Woody ke realitas dengan kasar namun tetap relevan. Kate Grant adalah ibu yang memiliki cara tersendiri untuk menyayangi anak-anaknya. June Squibb is the perfectly fit actress for this role.
Bittersweet memory, alasan lain mengapa film ini berada dalam warna hitam-putih mungkin karena film ini mengupas masa lalu Woody, membawa lagi Woody ke masa lalu. Selayaknya sebuah kanvas yang telah dilukis, kemudian dihapus, kemudian berusaha dilukis dengan gambar yang sama, scene dimana Woody mengunjungi rumah masa kecilnya merupakan scene nostalgia yang terasa sangat hidup di tengah space-space usang rumah kosong. Scene lmenghibur dan kocak juga dihadirkan lewat adegan pencurian kompresor yang tidak hanya lucu, namun juga manis dalam waktu yang bersamaan. Film ini pintar dalam menghadirkan sisi kemedinya, membawa penonton ke arah serius kemudian mengejutkan penonton dengan adegan lucu tersebut, membuat adegan-adegan ini menjadi sesuatu yang “unexpected”. Kesempatan mengeksplor hubungan ayah dan anak inipun dimaksimalkan dan ditutup dengan ending menyentuh, masih terasa “unexpected” namun tetap real.
Kembali lagi, Nebraska merupakan sajian sederhana dengan energi yang “properly” on-beat, masuk ke dalam penonton dengan karakter nyata, serta jalan cerita yang menyentuh.
Director : Stephen Frears
Writer : Jeff Pope, Steve Coogan
Cast : Judi Dench, Steve Coogan
Mother’s love is forever. Yeah, mungkin itulah yang dilakukan oleh Philomena Lee (Judi Dench) selama 50 tahun terakhir memikirkan anaknya yang hilang, atau lebih tepatnya lost contact karena operasi sebuah gereja. Philomena muda harus rela anaknya diadopsi tanpa tahu siapakah sang pengadopsi, dan sama sekali tidak ada informasi yang bisa membawanya ke anaknya, Anthony. Sementara itu, seorang jurnalis baru saja kehilangan pekerjaannya, Martin Sixthman (Steve Koogan) dan berniat untuk menerbitkan buku, hanya saja ia belum yakin benar cerita apa yang akan ia angkat. Ketika ia bertemu dengan Philomena, ia pun mau menjembatani Philomena untuk menemukan anaknya dengan “syarat” cerita Philomena ini bersedia untuk dipublish. Perjalanan mencari anak yang telah hilang selama 50 tahn ini pun menjadi serangan demi serangan hati Philomena sebagai seorang ibu.
“As strong as its steel-y story.”
Jila ditilik kembali, Philomena bisa dikatakan merupakan nominasi Best Picture yang paling “dalam” diantara yang lainnya. Yeah, hal ini disebabkan mungkin Philomena sedikit banyak menyinggung masalah “konsep keimanan” yang dihubungkan dengan “pertanyaan tentang agama”. Sama seperti Nebraska, Philomena merupakan road trip (hanya saja dengan pesawat) yang menghubungkan dua karakter bertolak belakang dalam satu waktu. Philomena dideskripsikan sebagai penganut katholik yang baik sedangkan Martin Sixthman digambarkan sebagai seseorang yang kritis dan penuh pertanyaan tentang agama dan membuatnya memang terkesan tidak percaya dengan keberadaan Tuhan.
Menarik ? Yeah, menarik, sisi menarik dari Philomena adalah sebuah cerita yang kuat (sangat kuat) untuk diceritakan, powerful, disertakan dengan banyak elemen penting yang sangat serius seperti faith, religion, sins, namun kemudian dikombinasikan dengan unsur humor dan charm yang berasal dari screenplay yang ditulis sendiri oleh Steve Koogan. Walaupun pendekatan tone yang “lebih dark” juga akan tetap masuk untuk cerita yang seperti ini, namun tone yang tidak melupakan sisi menghibur ini merupakan sajian yang ternyata cocok juga disajikan dengan sesuatu yang “sangat” serius. Tone ini membuat film ini malah terasa personal dan real untuk menceritakan sebuah cerita yang mungkin jika orang mendengar tidak akan percaya dengan kebenarannya.
Who’s the old fella ?
Siapakah yang tidak mengenal Judi Dench, paling tidak semua orang pernah melihatnya sebagai M di franchise James Bond. Di usianya yang hampir menginjak 80 tahun, Judi Dench masih saja mengambil peran-peran dalam film, walaupun memang sepertinya pilihannya semakin terbatas. Judi Dench sebagai Philomena merupakan performer paling subtle, disejajarkan dengan Sandra Bullock, untuk nominasi Best Performance in Leading Role Oscar tahun ini. Tidak hanya subtle, Judi Dench memberikan penampilan paling “heartbreaking” sebagai seorang ibu yang kehilangan anaknya selama 50 tahun, dan terus-terusan merasa bersalah akan hal tersebut. Beberapa moment, Judi Dench memberikan silent performance, in controll, dan memberikan kesempatan untuk penonton untuk meng-interpretasikan perasaannya ketimbang ia harus berkoar-koar terlalu powerful memainkan karakter Philomena. Sebuah penampilan yang bijak, terutama ketika Philomena selayaknya karakter tameng dan penetral untuk membuat film ini tidak terkesan depresif. Philomena selalu memberikan sisi positif terhadap setiap serangan yang diakibatkan dari pencarian ini. Judi Dench juga memang pada dasarnya memiliki natural charm yang membuatnya tidak harus memberikan ekspresi lucu untuk menyampaikan sesuatu yang lucu. Sama halnya dengan penampilannya sebagai Evelyn di The Best Exotic Marigold Hotel, Judi Dench tidak perlu mengeluarkan otot, urat untuk memberikan penampilan yang terbaik. She’s just wise like her character.
Salah satu hal yang paling disukai adalah bagaimana film ini turut menyelipkan potongan-potongan scene tentang anak Philomena, Anthony, selayaknya proyektor yang bermain sendiri di kepala Philomena, men-sugestikan bahwa anaknya baik-baik saja. Yeah, I like this thing, basically, we are just living projector, right ?
Crowd pleaser, memang sepertinya film ini crowd pleaser, namun dengan embel-embel “Based on True Story”, film ini mengangkat dirinya sendiri untuk menjadi meyakinkan. Ketika sebagian besar film mengeluarkan tensi-nya di ending film, ending film ini seperti kegiatan relaksasi tentang apa yang sudah terjadi di sepanjang film. Banyak pelajaran berharga yang di dapat dari film ini, sesuatu yang terkesan klise namun ditampilkan dengan meyakinkan. Salah satunya adalah tentang forgiveness, untuk memberikan sebuah penggambaran yang lebih luas, reaksi antara karakter Martin Sixthman dan Philomena merupakan sesuatu yang menarik untuk disimak.
It’s not about searching a person, it’s about searching a person in your mind, because that is the only thing that matters. Film ini bukanlah sebuah pencarian seseorang, oleh karena itu film ini memang tidak terlalu investigatif (yeah, it’s not detective movie). Film ini lebih berkutat pada proses pencarian ini yang menekankan pada hubungan Philomena dan juga Martin Sixthman sebagai dua orang yang berbeda yang menanggapi sesuatu yang sama. Cerita kemudian lebih merasuk ke dalam pikiran Philomena, bagaimana kemudian ia harus terus menerus menyelaraskan ekspektasi yang ada di pikirannya dengan realita yang sudah ada.
Director : Sebastián Lelio
Writer : Sebastián Lelio, Gonzalo Maza
Cast : Paulina García, Sergio Hernández
Okay, dibandingkan dengan Judi Dench atau Bruce Dern mungkin Paulina Gracia bisa dikatakan “muda” jika dilihat dari usianya yang masih berada pada rentang 50-an. Namun, sepertinya di Holywood sekalipun, aktor aktris yang telah berumur diatas 50-an juga sudah mulai pilah-pilih peran yang mungkin lebih cocok atau pantas dengan usianya. Namun, berbeda dengan Paulina Gracia disini.
Gloria (Paulina Gracia), seorang janda yang telah ditinggalkan oleh anak-anaknya dan memiliki cara tersendiri untuk mengatasi kesendiriannya. Ia masih berpesta, ia masih saja berdansa, ia juga masih berkencan, melakukan yoga, ke salon, di umurnya yang sudah menginjak 58 tahun. Gloria juga menjalani kehidupannya dengan rutin, malam berpesta, siang bekerja, kemudian tidur di tempat tinggalnya yang sempit. Gloria sepertinya mulai menemukan energi mudanya ketika ia bertemu dengan duda, Rudolfo (Sergio Hernandez) yang masih memiliki ketergantungan dengan mantan istri dan kedua anaknya. Hubungan mereka pun menginjak ke tahap demi tahap, dan Gloria pun harus menghadapi masalah di tengah fisiknya yang tidak muda lagi.
“Crazily mundane, but not pathetic. It’s like a day with Gloria.”
Gloria merupakan sebuah portrayal seorang wanita yang masih memiliki energi untuk melakukan segala sesuatu. I said “masih” instead of “terjebak”, karena, yes, it’s crazily mundane, namun apa yang coba digambarkan Gloria bukanlah bentuk sebuah ketidakmatangan seorang perempuan, namun lebih ke sebuah lifestyle yang memang ingin dijalani oleh perempuan berusia 58 tahun ini.
Who’s the old fella ?
Pathetic ? I don’t find it pathetic. It’s not crisis. Gloria lebih masuk ke dalam sebuah karakter yang menjalani hari-harinya di tengah segala masalahnya, ketimbang sebuah karakter yang mengalami “bullying” dari segi cerita yang membuat karakter ini merasa dikasihani. Di sisi inilah mungkin, Gloria begitu berbeda dengan film-film dengan cerita yang serupa. Disinilah yang spesial, Gloria tidak akan sukses tanpa kehadiran seorang Paulina Gracia yang sangat “lebih dari cukup” untuk membawa beban energi di sepanjang film. Walaupun usianya baru sekitar 55 tahun, namun komitmen yang diberikan oleh Paulina Gracia melebihi dari aktris-aktris yang mungkin sudah berada pada rentang usia yang sama. Nudity ? She’s totally into it sampai beberapa scene yang masih memerlukan vitalitas dari fisik Paulina yang sudah tidak muda lagi.
Gloria merupakan sebuah film yang benar-benar ingin menikmati sebuah proses penceritaan. No shortcut. Film ini memang tipikal film-film festival dan memang tidak diperuntukkan untuk semua orang. Setiap scene dilakukan dengan sangat sabar, setiap scene menceritakan setiap detail dari kehidupan Gloria tanpa harus memasukkan setiap motif dalam setiap scene-nya. Sisi ini membat Gloria memang terkesan nyata, jujur, namun di sisi lain, untuk penonton yang tidak sabar, Gloria mungkin hanya akan dianggap sebagai sebuah sajian yang membosankan.
Gloria juga selayaknya character study singkat yang tidak ingin show-off, lewat penyajian dua karakter berbeda yang memiliki tingkat kedewasaan emosi yang berbeda walaupun berada dalam rentang usia yang sama. Karakter Rudolfo adalah karakter yang mungkin hanya akan hadir di masa muda Gloria, he’s a douchebag, tidak stabil, dan memanfaatkan keberadaan Gloria. Perwakilan dua orang usia lanjut ini merupakan bentuk penggambaran yang unik.
This movie is not for everybody, but still a good portrayal for one unique woman.
So that’s it, beberapa film yang menampilkan performer yang tidak muda lagi namun masih memberikan penampilan yang maksimal dengan cara mereka masing-masing. If I have to grade it, Philomena > Nebraska > Gloria