The Walk (2015) : The Magical First Step, The Limbo, and The Impossible Act

Director : Robert Zemeckis

Writer : Robert Zemeckis (screenplay), Christopher Browne (screenplay), 1 more credit

Cast : Joseph Gordon-Levitt, Charlotte Le Bon, Ben Kingsley

(Review) Berbicara tentang gedung World Trade Center memang sudah banyak hal yang dialami oleh gedung dengan seratus sepuluh lantai ini. Banyak orang berusaha menakhlukan gedung ini, mulai dari tragedi kemanusiaan yang dikenal dengan kejadian 11 September sampai pada suatu pagi di bulan Agustus seseorang berkebangsaan Perancis bernama Philippe Petit yang memiliki cara lain, yaitu dengan menyeberanginya. Berdasarkan buku sang penyeberang gedung sendiri, To Reach the Clouds dan ditangani Robert Zemeckis (Castaway, Flight), The Walk merupakan salah satu kejadian fantastis yang layak ditunggu.

Dibuka dengan Philippe Petit (Joseph Gordon Levitt) yang membuka film, bernarasi di depan landmark kota New York, ia mengatakan satu kata yang mungkin juga ada di benak penonton mengapa seseorang mempertaruhkan hidupnya untuk hal yang sangat mustahil tersebut. Why ? Itulah satu katanya. Ia tak langsung mengutarakan alasannya, yang ada ia mulai melakukan perjalanan flashback bahwa kejadian tersebut tak dilakukan dalam satu malam. Berawal dari Petit yang hanya seorang seniman jalanan, ia bermain sulap, menaiki unicycle sambil menyambar sepotong bagel, Robert Zemeckis membuka filmnya dengan sangat artistik, ditambah dengan pemilihan warna hitam putih di kota Paris, yang langsung menarik mata kita dengan keseluruhan magic instan. Namun, dari semua bakatnya, ada satu hal yang sangat menarik hati sang Petit. Itu adalah ketika melihat satu sirkus di masa kecilnya dan begitu takjub dengan aksi pejalan tali dan dari situlah impiannya berawal.

Memilih untuk langsung menghibur penonton, The Walk tak pernah menunjukkan sisi struggle dari dalam diri Petit. Tak ada kesulitan dari dirinya ketika ia berlatih berjalan di atas tali, atau ketika juga mengetahui bahwa minatnya memintanya untuk kehilangan keluarga yang membesarkannya. Dunia begitu berpihak kepadanya. Ia bertemu dengan pelatih sirkus veteran, Papa Rudy (Ben Kingsley), ia bertemu dengan gadis pujaan hatinya, Annie (Charlotte Le Bon), dan ia begitu percaya diri ketika ia merekrut fotografer resminya kelak. Disinilah sang fotografer mengutarakan bahwa setiap seniman adalah seorang anarki, sebuah pernyataan yang tak tidak disetujui oleh Petit, yang memberikan kita sekilas alasan mengapa Petit ingin melakukan kudeta kepada Amerika dengan seni.

Sekali lagi Robert Zemeckis mendapatkan materi “make the impossible possible”, dan dalam film-film sebelumnya ia begitu cantik memperhitungkan aftermath dari setiap kejadian tersebut. Sayangnya, apa yang dilakukan Petit semuannya bermuara pada preparation ketimbang aftermath karena kejadian mustahilnya tetap harus ditahan di klimaks film. Penonton pun mendapatkan film yang lebih memiliki persamaan dengan Forest Gump, ketimbang Cast Away atau Flight, yang sebenarnya memiliki persamaan dengan The Walk : survival terhadap satu hal.

Berpindah setting ke kota tujuan, The Walk menekankan dengan preparation dan cara bagaimana sang seniman akan melakukan aksinya. Disinilah mulai terjadi limbo yang dialami The Walk. Mulai dari bahwa untuk masuknya WTC dan menyeberanginya adalah hal yang ilegal, semua tak merubah dirinya, dari ia tak memiliki berbagai sumber untuk meluncurkan aksinya, semua tak merubah dirinya, sampai kejadian minor bersifat fisik seperti menginjak paku yang merusak asetnya, semua tak merubah dirinya. Alhasil, The Walk terlihat sangat lemah demi mendapatkan semua bahan-bahan yang ia perlukan dalam segi perekrutan teman-temannya, sampai titik penting dalam diri Petit sendiri yaitu persiapan. Menjadikan filmnya sendiri bukan sebagai big deal dan beraroma suicidal yang didukung dengan lelahnya protrayal Joseph Gordon Levitt, The Walk sampai titik kejenuhan di tengah film.

Cerita mulai menarik kembali ketika aktualisasi semua peralatan Petit tak semudah dengan apa yang direncanakan. Beberapa distraksi kecil semakin mengukuhkan The Walk ingin menekankan bahwa film-film ini benar sebagai fact based yang ingin menerjemahkan buku pengarang. Salah satu distraksi yang paling diingat mungkin ketika seseorang yang tak dikenal tiba-tiba datang mengusik persiapan Petit dan tanpa sadar Petit membawa sebuah potong besi ingin menghampirinya. Entah apa yang akan dilakukan Petit, namun momen-momen inilah yang sangat menarik untuk disimak, selain momen Petit yang terbangun dari tidurnya di malam sebelum eksekusi dan melakukan hal konyol seperti memaku “peti mati” karena ia begitu ragu akan dirinya.

Sampailah pada part yang menjadi alasan dua pertiga film ini ada. Sekuens bagaimana Petit menyeberang terbukti begitu intens saat dilihat. Penonton memang mengetahui outcome-nya, apalagi ketika melihat film ini juga berada pada bayang-bayang versi dokumenternya yang memenangkan banyak award termasuk Oscar, Man on a Wire. Dengan visual yang memperlihatkan ketinggian gedungnya (seemingly, works better in 3D), penonton ibaratnya disajikan adegan full frontal dengab kematian saat film benar-benar menyorot kaki film diatas kabel yang menjadi batas hidup dan mati. Sekuens ini disempurnakan dengan aksi permainan kematian yang dilakukan Petit yang menjadikan film memiliki dinamika tersendiri. Sayangnya, sekuens puncak ini juga masih terdistraksi dengan narasi yang masih dilakukan Petit yang tak sepenuhnya memberikan gambaran internal Petit saat menyeberang, diperburuk dengan pihak-pihak lain yang sepertinya tak bisa menyesuaikan derajat kepentingan dengan gangguan humor mereka.

Akhirnya, dengan segala cacatnya, The Walk masih watchable dengan adegan mustahilnya, diperkuat dengan bukti nyata based on true story, mengundang decak kagum namun dalam usahanya, film ini memperlihatkan usaha karakter yang terlampau mudah untuk sebuah pencapaian yang begitu mustahil. (B-)

Leave a comment