Amanda Seyfried

Honey, I Shrunk The Kids : The Ant Bully (2006), The Secret World of Arrietty (2010), and Epic (2013)

Okay, salah satu film yang paling diingat saat kecil adalah Honey I Shrunk The Kids, yeah. Suatu kali film ini pernah ditayangkan di sebuah televisi (when our television station was pretty decent), and it actually changed my world. Konsep dari film ini sebenarnya sudah sangat tertera pada judulnya, seorang ayah ilmuwan tanpa sengaja menyusutkan badan anak-anaknya. Masalah terjadi ketika anak-anak ini kemudian harus berjuang kembali ke rumah dengan melewati hutan rimba penuh bahaya yang tidak lain tidak bukan adalah kebun belakang rumah mereka sendiri. Mereka bertemu dengan kupu-kupu raksasa, jamur raksasa, bahkan juga sampai semut raksasa. When I was six or something, that was fucking awesome.

So, I watched some movies with the same storyline, this is it….

Director : John A. Davis
Writer : John A. Davis, John Nickle
Cast : Julia Roberts, Nicolas Cage, Zach Tyler, and Meryl Streep

About
Film apa yang dibayangan kita ketika mendengar kata semut, dan juga animasi, yeah, mungkin Antz, namun film ini juga mengeksplor kehidupan semut dan juga koloninya. Lucas (Zach Tyler), seorang anak yang sebenarnya kurang mendapatkan perhatian lebih orang tuanya, dan juga dibully oleh teman-teman sebayanya, kemudian melampiaskan kemarahannya dengan mengobrak-abrik sebuah koloni semut di depan rumahnya. Tanpa disangka, koloni semut tersebut memiliki peradaban, mereka bisa berbicara, mereka memiliki ilmu pengetahuan, termasuk magic. Hingga saat suasana sudah darurat, salah satu semut, Zoc (Nicholas Cage) kemudian membuat sebuah potion yang menyusutkan tubuh Lucas, and BAM !!! Lucas yang nakal pun menjadi sekecil mereka, dan atas keputusan Queen (Meryl Streep), Lucas pun harus belajar untuk menjadi bagian dari koloni dengan arahan seekor semut optimis, Hova (Julia Roberts).

“Well crafted, full of message, but almost nothing special.”

Okay, film animasi mungkin sangat cocok untuk anak-anak karena penuh dengan message moral atau pun banjir dengan kebaikan, seperti kerjasama, tidak boleh egois, tidak boleh nakal, dan sebagainya, dan sebagainya. Untuk film animasi yang ditujukan untuk anak-anak, film ini bisa dikatakan sebagai sebuah film yang sangat sukses. Namun, bagaimana untuk orang dewasa ? Yeah, film ini tidak menyajikan sesuatu yang baru, dialog-dialognya juga tergolong cukup lucu, namun tidak terlalu lucu, cukup pintar, namun tidak terlalu pintar. Salah satu yang menarik perhatian mungkin pengisi suara yang termasuk aktor aktris yang sudah tidak diragukan lagi. Julia Roberts, Nicholas Cage dan juga Meryl Streep berada di pengisi karakter-karakter utama. Namun disinilah sepertinya sumber kekecewaan yang lain, bahkan seorang aktor aktris peraih Oscar atau bla-bla bla, terkadang juga hanya standard-ly perform di film dimana mereka hanya bisa mengandalkan suara mereka. Yeah, untuk Nicholas Cage dan Meryl Streep sedikit masih bisa mempertahankan karakter suara asli mereka and that is a good thing, namun untuk karakter Hova yang disuarakan Julia Roberts sepertinya benar-benar separuh kehilangan karakter istimewa Julia Robert. Yeah, I like this actress pronounce every word with her upper lips in live action movie, namun sepertinya di film ini, jika kita menutup mata, kita akan sulit menebak jika suara ini adalah suara Roberts.

Elemen of wonder, yeah I got this term, karena sepertinya film dengan jalan cerita seperti ini memiliki kekuatan untuk mengeksplor dunia yang kecil namun familiar, kemudian dibandingkan dengan dunia normal yang tiba-tiba menjadi raksasa. Yeah, The Ant Bully tidak sepenuhnya memanfaatkan elemen yang satu ini karena mungkin kebanyakan setting di koloni semut ketimbang di rumah Lucas, namun untuk beberapa scene, film ini masih mengeksplor hal tersebut.

Giant antagonist, pasti selalu karakter orang normal yang menjadi karakter antagonist di film ini. Yeah, film ini menyertakan kakak Lucas dan juga neneknya sebagai karakter yang sering kali mengganggu, bukan mengancam. Karakter mengancam hadir lewat The Exterminator yang merupakan karakter antagonist utama karena mengancam keberadaan koloni ini. He’s so ambitiously menacing but not impressing. Yeah, tipikal antagonist biasa. Sisi ini mungkin bisa dikatakan terlalu pasif, dan sengaja untuk tidak mendominasi cerita.

Sisi yang menariknya adalah sepertinya kurang menyenangkan untuk melihat sebuah film tentang binatang, bahkan binatang ini bisa berbicara namun terdapat beberapa adegan “pembunuhan binatang”, I don’t know why I found it very harsh, not for children maybe, but for adult. Beruntungnya, The Ant Bully tidak terlalu jauh masuk dalam genre fantasy, cukup dengan semut yang berbicara, kemudian mereka juga menyertakan binatang-binatang lain, seperti nyamuk, tawon yang juga bisa berbicara, tanpa tambahan karakter fantasy yang kurang natural ataupun terlalu aneh.

Director : Hiromasa Yonebayashi
Writer : Mary Norton, Hayao Miyazaki
Cast : Saoirse Ronan, Tom Holland, Olivia Colman (english cast)

Sama seperti The Ant Bully, film ini juga berdasarkan pada sebuah buku dan dengan tangan dingin studio Gibli untuk menyediakan animasinya, maka film ini memang sangatlayak untuk ditonton.

Mungkin istilah “Honey I Shrunk The Kids” kurang tepat untuk film ini. Film yang bergenre fantasy ini memang bercerita tentan dua kehidupan yang memang sudah berbeda. Sho, seorang anak laki-laki biasa dengan ukuran normal dan Arriety, seorang gadis mungil kecil yang hidup secara rahasia di sekitar rumah Sho. Sho harus menghabiskan hari-harinya di rumah masa kecil ibunya karena ia mengidap sebuah penyakit yang membuatnya membutuhkan sebuah suasana yang tenang dan damai. Ketenangannya mulai diusik ketika ia mulai beberapa kali memergoki orang-orang kecil atau yang disebut dengan Borrower. Borrower ini adalah sebuah legenda tentang orang-orang kecil yang suka meminjam barang-barang seperti gula, jarum, dan lain sebagainya untuk bertahan hidup. Salah satu Borrower aalah Arriety yang hidup bersama ibu dan juga ayahnya. Arriety yang “orang baru” dalam menjalankan misi bertahan hidup, beberapa kali harus kepergok oleh Sho dan akhirya menjalin persahabatan dengannya. Sayangnya, persahabatan ini juga harus mengancam keluarga dan “spesies”-nya yang mulai langka dan akan punah.

“Simple but beautiful.”

Yeah, jika dibandingkan dengan The Ant Bully dan juga Epic, mungkin The Secret World of Arriety paling tradisional dari segi visualnya, but it’s Gibli, GODDAMN IT. Dari visual yang terlihat tradisional ini malah film ini terlihat indah dalam balutan yang sederhana, terlihat klasik dan juga old school.

Ceritanya pun dibuat tidak macam-macam. Hanya tentang relationship antara manusia dan manusia mini, namun dikemas dengan banyak sisi charming sekaligus mendalam untuk kedua karakter utamanya. Untuk film animasi, Arriety dan juga Sho bukanlah karakter yang terlalu komikal, they are actually like real character. Yeah, dalam artian, karakter ini termasuk karakter yang kompleks untuk ukuran sebuah karakter yang direpresentasikan oleh sebuah gambar. Sho adalah anak laki-laki yang kesepian, juga kurang perhatian, diperlakukan secara spesial, dan bisa dikatakan karena penyakitnya, ia mulai menutup dunianya, lebih gelap lagi terkadang Sho juga harus menghadapi kematian yang mungkin akan menjemputnya setiap saat. Kontras dengan Arriety, gadis kecil ini penuh dengan keingintahuan akan dunia yang baru, seorang petualang, dan juga mempunyai sisi “membangkang” dengan kedua orang tuanya yang cenderung konservatif. Hubungan yang aneh pun mereka jalani, sebuah persahabatan yang begitu kontras antara dua karakter yang penuh dengan keterbatasannya masing-masing. Film ini cukup berhasil mengeksplor hal ini, membuat film ini tidak hanya menyenangkan dan full message untuk anak-anak, namun juga menjadi film  yang menghibur sekaligus terkadang menyentuh untuk orang dewasa.

Element of wonder, siapa bilang dengan animasi tradisional, sisi yang satu ini menjadi lemah. Keingintahuan dan karakter Arriety yang selalu amaze dengan dunia barunya  menjadi salah satu kekuatan film ini untuk benar-benar mengolah bagaimana karakter kecil ini harus hidup di dunia yang besar. Sebuah perjalanan meminjam gula, menjadi rangkaian adegan yang menghibur karena mereka harus melewati meja yang super tinggi, kemudian terjun dari meja yang super tinggi pula. Bagaimana keluarga Arriety memanfaatkan barang-barang di sekitarnya untuk rumah mereka juga sangat menarik. Untuk film dengan cerita seperti ini, The Secret World of Arriety benar-benar tahu kekuatannya.

Giant antagonist, tidak ingin terlalu ambisius dalam menciptakan karakter antagonist. Antagonist disini cukup seorang perawat rumah yang dengan segala upaya “juga” ingin menangkap orang-orang kecil ini namun dengan cara-cara yang masih biasa dan juga alami, namun tanpa melupakan sisi mengancamnya.

Dengan karakter yang dalam dan juga menyenangkan, sekaligus pendekatan yang lebih sederhana, film ini merupakan film yang tahu benar kekuatannya.

Director : Chris Wedge
Writer : William Joyce, James V. Hart
Cast : Amanda Seyfried, Josh Hutcherson, Beyoncé Knowles, Colin Farrell, Jason Sudeikis, Christoph Waltz

Hmmm, dari creator Ice Age (hmmm, not pretty good indicator, walaupun Ice Age adalah guilty pleasure yang selalu ingin ditonton), Epic bercerita tentang MK (Amanda Seyfried) yang berkunjung ke rumah ayahnya yang sedikit gila, Professor Bumba (Jason Sudeikis). Sebenarnya tidak terlalu gila, karena ia mempercayai peradaban orang-orang kecil yang hidup di tengah hutan, dan benar. Queen Tara (Beyonce Knowles) adalah ratu yang senantiasa menjaga hutan dan dalam waktu dekat akan menyerahkan kekuatannya dan memilih seorang leader yang baru. Beruntungnya, konflik antara Leaf Man yang dipimpin Queen Tara dengan Mandrake (Christoph Waltz) semakin menjadi ketika Mandrake tahu bahwa akan ada pengalihan kekuatan Queen Tara lewat sebuah pod. Di tengah pertempuran pun, Queen Tara terpaksa menyerahkan pod-nya ke MK yang seketika mengecilkan badannya. MK-pun harus bertempur dengan waktu untuk menyelamatkan pod dan seisi hutan dengan bantuan para tentara Leaf Man,  Nod (Josh Hutcherson) dan Ronin (Colin Farrel).

“Not quite epic fail, but yes, it is quite epic boredom.”

Too crowded. Sepertinya film ini tidak terlalu bisa memenuhi janjinya seperti yang tertera pada judulnya. Epic bisa dikatakan terlalu biasa diatas misinya yang terlalu “epic”. Terlalu banyak karakter, dengan terlalu banyak interaksi dan hubungan namun tidak ada satu hubungan antar karakter yang bisa diolah dengan dalam, semuanya berakhir dengan level nanggung, seperti hubungan Ronin dengan Queen Tara, hubungan MK dengan Nod, hubungan Nod dengan Ronin, hubungan MK dengan ayahnya, terlalu banyak yang ingin dicakup namun akhirnya berakhir biasa saja tanpa meninggalkan bekas untuk penonton.

Film ini diawali dengan scene yang sangat familiar untuk film serupa, yaitu MK yang berkunjung ke rumah ayahnya yang jauh di entah berantah, kemudian disertai dengan perkembangan plot yangg berjalan lambat sepertinya film ini sudah membosankan sejak awal pertama film mulai.

Yeah, mungkin disinilah salah satu masalah animasi, lebih mengutamakan nama besar ketimbang menyuarakan karakter suaranya menjadi berkarakter (salah satu sisi mengapa lebih suka pengisi suara Pixar yang lebih masuk karakter walaupun pengisi suaranya kadang tidak terlalu kita kenal). Nama besar seperti Beyonce Knowles, Christoph Waltz, bahkan komedian Aziz Ansari tidak ada yang bisa menyuarakan karakternya dengan ciri khusus, ditambah dengan Amanda Seyfried dan Josh Hutcherson sepertinya bagian voice-acting tidak terlalu inspirational.

Element of wonder, film ini memang tidak berfokus pada dunia kecilnya mengingat film ini terlalu masuk pada genre fantasy dengan banyak makhluk-makhluk baru yang aneh. Dibandingkan ketiga film, film ini adalah film yang paling lemah di sisi ini. Kemampuan ‘orang-orang kecil” ini untuk menjelajahi dunianya juga “too epic to be true”, mereka bisa melompat dengan sangat tinggi, bahkan dengan mudahnya mengendarai burung, membuat Epic selayaknya Journey to The Center of The Earth versi animasi.

Giant antagonist hampir tidak ada di film ini, karakter ayah MK juga terlalu “clueless” untuk mengetahui keberadaan orang-orang kecil ini, hasilnya karakter antagonist memang sepenuhnya berada di tangan Mandrake, karakter antagonist yang terlalu general dan terlalu “been there done that.”

Epic terlalu gagal untuk memenuhi narasi awalnya yang mengutarakan untuk “look closer”, secara visual memang menyenangkan walaupun juga tidak terlalu spesial, tidak lebih dari itu.

In the end, untuk film dengan storyline hampir serupa, The Secret World of Arriety > The Ant Bully > Epic.

The Big Wedding (2013) : It’s Never Too Late to Start Acting Like Family

Director : Justin Zackham

Writer : Justin Zackham

Cast : Robert De NiroKatherine HeiglDiane Keaton, Amanda Seyfried, Topher Grace, Susan Sarandon, Robin Williams, Ben Barnes

About

Okay dokey, film dengan all star plus secara otomatis melibatkan banyak karakter memang sudah cukup banyak dan kebanyakan mendapatkan kritik yang tidak menyenangkan. Sebut saja mulai dari Valentine’s Day dinilai FAILED. New Year’s Eve FAILED. Love Actually (ALMOST) FAILED. Atau sebut saja komedi dengan segmen bejibun, dengan nyaris bintang Holywood diborong semua, Movie 43, yang juga digadang film terburuk dan akan menerima Razzie Award untuk 2013.

Namun dibalik, predikat itu semua, film dengan all star memang mempunyai daya tarik sendiri, yah bisa dibilang kapan lagi kita melihat para bintang dalam satu package yang sama. Mungkin itulah yang mengilhami dari casting The Big Wedding. Film ini tidak tanggung-tanggung melibatkan empat pemenang Oscars untuk filmnya, sebut saja Robert De Niro, Diane Keaton, Susan Sarandon, dan Robin Williams. Yah keempatnya memang sedang dalam berada karir yang “kurang” menyenangkan dan sering terjebak pada projek-projek kecil yang tidak mengasah kekuatan akting mereka sebagai pemenang Oscars. Selain para veteran akting, ada juga bintang-bintang dengan karir yang sedang menurun seperti Katherine Heigl dan juga Topher Grace, dimana Heigl juga turut membintangi New Year’s Eve sedangkan Grace membintangi Valentine’s Day. Sedangkan Amanda Seyfried, sebagai bintang muda, mereprise perannya sebagai bride entah untuk keberapa kalinya, Les Miserables, uhm, Mama Mia ?

Banyak yang kurang tahu, bahwa sebenarnya film ini merupakan hasil remake dari film Perancis berjudul Mon frère se marie. Disutradarai oleh penulis The Bucket List, Justin Zackam.

The Big Wedding, merupakan reuni dari anggota keluarga yang memliki banyak masalah, seperti mantan istri Eleanor (Diane Keaton, harus bertemu dengan mantan suaminya Donald (De Niro) dan istrinya sekarang Bebe (Sarandon) dan tiga anak mereka, Lyla (Heigl), Jared (Grace), Al (Ben Barnes). Ketika ibu kandung Al (karena Al diadopsi) datang, Eleanor harus berpura-pura kembali menjadi pasangan suami istri dengan Donald untuk melangsungkan sebuah pernikahan antara Al dan Missy (Amanda Seyfried).

“The problem is the problem is not problem enough, not quite messy, not real problem where the cast can play with, but overall, it’s still a wedding, but not the big one, not even close.”

Okay dokey, untuk sebuah komedi, film ini menyajikan banyak cerita yang sebenarnya mampu diasah, namun kembali lagi, dengan banyaknya karakter yang terlibat, ditambah dengan durasi yang terbatas, ditambah dengan genre komedi, ditutup dengan problem solving yang cenderung mudah, hasilnya MEH !

Kekuatan dari para cast-nya biasanya terbuang sia-sia karena mereka seakan-akan hanya bertindak sebagai cameo dalam film, walaupun mungkin ekspektasi penonton berlebihan, sebut saja Robin Williams yang hanya diperankan menjadi seorang priest disini, atau trio De Niro, Keaton, Sarandon yang seharusnya menjadi main course dari inti  cerita yang sebenarnya bisa digali dengan lebih terdistract dengan cerita yang kurang penting seperti karakter Grace yang ingin melepaskan keperjakaannya (???). Jika dilihat mungkin, effort yang bisa terlihat terdapat pada Heigl dengan De Niro yang menumbuhkan hubungan anak-ayah yang tidak akur, namun itu saja masih kurang begitu cukup, sedangkan pasangan Amanda Seyfried dan Ben Barnes, seperti kurang menjadi pasangan sweetheart di sepanjang film.

Too much forgive-ness, masalah lain yang menjadi masalah di film ini, banyak konflik yang sebenarnya bisa mengalir namun dibending dengan kata “I forgive you”, tidak tanggung-tanggung sebesar apapun masalahnya, balik lagi “I forgive you”. Berbagai jokes sebenarnya bisa mengundang tawa hanya saja “timing”-nya sepertinya kurang tepat dan kurang greget. Tidak mudah memang membuat sebuah film dengan substory yang sangat banyak, namun please, give it extra effort so it won’t be (less) mediocre. Selain itu banyak point, yang dikira terlalu tidak bermoral untuk dimaafkan, sehingga membuat sebuah jokes terasa kurang lucu dan kurang natural.

Yep film ini memang tidak segrande seharusnya sebuah pernikahan besar, formulaic dan sebagainya, namun terkadang penonton juga membutuhkan sebuah tontonan yang tidak perlu mikir keras, sit and watch.

Trivia

Film pertama dimana Lionsgate memperkenalkan logo barunya.

Quote

Donald : Want a piece of advice, kid? Stay single as long as you can.

Les Miserables (2012) : Story about Hope, Fight, Love and Dream

Sutradara : Tom Hooper

Penulis : Claude-Michel Schönberg, Victor Hugo, Alain Boublil, William Nicholson

Pemain : Hugh Jackman, Russell Crowe, Anne Hathaway, Amanda Seyfried, Sacha Baron Cohen, Helena Bonham Carter, Samantha Barks, Eddie Redmayne

“Full of emotions of some actors and actresses and at last one third of movie, I have to confess, it is frustrating and plain.”

About

Les Miserables, sebuah projek ambisius dari sutradara peraih Oscar untuk The King’s Speech dan berdasarkan novel Victor Hugo dengan judul yang sama. Film yang baru saja meraih delapan nominasi Oscars, termasuk Best Picture, Best Actor in Leading Role, dan Best Actress in Supporting Role.

Film yang telah menempuh perjalanan panjang sebelum menjadi sebuah film ini bercerita tentang seorang tawanan yang dipenjara hanya karena mencuri roti, Jean Valjean (Hugh Jackman), yang mendapatkan kesempatan untuk bebas walaupun harus merahasiakan identitas dan masa lalunya sementara musuh bebuyutannya, seorang polisi, Javert (Russel Crowe) yang terus memburunya. Beberapa tahun kemudian, Valjean telah menjadi walikota terpandang yang tanpa tahu dan tanpa sengaja memecat Fantine (Anne Hathaway), seorang Ibu dengan satu orang anak, Cossette yang ia titipkan pada pasangan Thenardier (Helena Bonham Carter dan Sacha Baron Cohen) yang secara terus menerus mengeksploitasi keberadaan Cosette. Tanpa pekerjaan dan dibelit oleh hutang, Fantine pun menjual segalanya, rambut, gigi, hingga menjadi pelacur. Ketika terjadi accident dengan tamunya, Fantine nyaris ditangkap Javert namun diselamatkan oleh Valjean. Secara hampir bersamaan, suatu kejadian memaksa Valjean untuk membuka identitas aslinya, yang berarti ia harus berhadapan kembali dengan Javert. Sebuah janji untuk merawat Cosette, Valjean berhasil membawa pergi dari pasangan Thenardier hingga ia dewasa. Cosette dewasa (Amanda Seyfried) mulai jatuh cinta dengan Marius (Eddie Redmayne), tanpa mereka ketahui Eponine (Samantha Barks) juga diam-diam menyukai Marius. Di tengah revolusi, mereka harus memperjuangkan mimpi, harapan, cinta, termasuk Valjean yang masih harus berhadapan dengan Javert.

Panjang memang ceritanya, novel aslinya bahkan terdiri dari 5 volume yang menyangkutkan semua karakter. Ditambah, film menjadi menarik karena hampir seluruhnya disampaikan secara musical.

Hathaway, Barks, Jackman, Redmayne are the best in the movie.

Mereka menyanyi. Yah, itulah yang menarik, bahkan mereka menyanyi secara live. WOW ! Beberapa dari mereka memang melakukan pekerjaan mereka terutama saat Hathaway menyanyi I Dreamed A Dream, Jackman di awal-awal scene film, Barks dengan On My Own-nya, dan Redmayne dengan Empty Chairs at Empty Tables-nya merupakan beberapa scene yang sangat memorable di sepanjang film. Mereka tidak hanya menyanyi namun juga memeberikan emosi di nyanyian mereka, membuat penonton merasakan hal yang sama. Sementara pasangan yang juga pernah bermain dalam musical Tim Burton, Sweeney Todd, Bonham Carter dan Cohen berhasil menjadi duo penyegar suasana di dalam film. Crowe yang tampil hampir di sepanjang film, selayaknya Jackman, tampil meyakinkan walaupun tidak special. Jalan cerita cinta antara Barks dan Redmayne jauh lebih enjoyable dan berkesan dibandingkan cerita cintanya antara Redmayne dan Seyfried. Ketika Redmayne dan Barks berbagi scene sepertinya lebih masuk saja dibandingkan dengan berbagi scenenya dengan Seyfried yang sangat mediocre. Intinya, totalitas mereka dalam berakting, bernyanyi sampai transformasi fisik dari beberapa pemain yang tidak hanya sekedar make up memang patut diacungi jempol.

Sembilan puluh lima persen disampaikan dengan nyanyian, film ini sepertinya mulai terlihat lelah pada menit scene-scene revolusi yang dilakukan oleh Marius. Semuannya serba pelan, semuannya sepertinya sudah mulai penat dengan semua dialog dan monolog yang menyanyi lagi dan menyanyi lagi, dengan intensitas emosi untuk penonton yang mulai berkurang jika dibandingkan dengan awal film, bagian sepertiga film ini mulai hambar dan film terlihat bingung dan bertele-tele untuk melakukan adegan ending. Sama sekali tidak sepadan dengan bagian Fantine yang lebih terkesan terburu-buru dan terlalu cepat. Dengan kata lain, film ini sangat menghibur, terutama yang menyukai broadway atau semacamnya, hanya saja akan datang poin tertentu yang merupakan titik frustasi dan jenuh dari penonton berharap film ini segera untuk diakhiri.

Trivia

Taylor Swift dikabarkan akan memerankan Eponine, anak dari pasangan Thenardier yang merupakan teman masa kecil Cosette yang juga mengagumi Marius secara diam-diam, sebelum Samantha Barks mendapatkan perannya.

Quote

Fantine :  I had a dream my life would be so different from this hell I’m living!