Simon Beaufoy

Everest (2015) Will Bring You to The Top of The World, but Never Out of This World

Director : Baltasar Kormákur

Writer : William Nicholson (screenplay), Simon Beaufoy (screenplay)

Cast : Jason Clarke, John Hawkes, Keira Knightley, Sam Worthington, Jake Gyllenhaal

(REVIEW) Membuka ajang penghargaan Venice langsung menaikkan ekspektasi akan film ini. Bagaimana tidak, film-film sebelumnnya yang mendapatkan penghormatan tersebut semacam Gravity (bahkan tagline-pun nyaris sama) atau Birdman adalah dua film yang memiliki sisi teknis tinggi. Maka, bukan kejutan lagi jika Everest dengan skala besarnya; baik objek yang diangkat atau para bintang yang membentuk ensemble merupakan spectacle tersendiri untuk penonton. Sayangnya, dan beruntungnya, Everest enggan mengambil cerita overdramatic dan menggantinya ke dalam sebuah perjalanan cerita breathtaking dimana sang puncak tertinggi mendominasi dan membayangi orang-orang yang setengah mati ingin menaklukannya. Everest will bring you to the top of the world but never out of the world. Basic storytelling belongs to the force of nature instead of people, and when both of these belong to each other, it comes to the irony – who’s first thawed from the memory.

Ditulis oleh screenwriter Unbroken dan 127 Hours yang lebih menekankan pada perjalanan tragis personal, Everest merupakan docudrama yang berusaha menangkap salah satu kecelakaan tragis yang terjadi di puncak Everest yang terjadi di tahun 1996.

(more…)

The Hunger Games : Catching Fire (2013) : Sparks of Rebellion, War of Strategy, Quarter Quell, and Survival

Director : Francis Lawrence

Writer : Simon BeaufoyMichael Arndt

Cast :  Jennifer LawrenceJosh HutchersonLiam Hemsworth, Woody Harrelson, Donald Sutherland, Elizabeth Banks, Stanley Tucci, Philip Seymour Hoffman, Sam Claflin, Jena Malone

About

Satu setengah tahun yang lalu The Hunger Games memberikan kejutan dengan memperoleh pendapatan yang tidak sedikit sekaligus memberikan Jennifer Lawrence global recognition dan menjadikannya sebagai superstar (yeah, walaupun breakthrough performance-nya ada di Winter’s Bone). Diadaptasi dari novel bestseller dengan jalan cerita yang intriguing (yah, walaupun ada yang menyamakan dengan jalan cerita Battle Royale), The Hunger Games menjadi salah satu franchise yang menjanjikan pasca franchise Harry Potter berakhir. Novel young adult memang sedang gemar diadaptasi ke film namun tidak semuannya sukses baik secara kritik ataupun secara komersial. Lihat saja Percy Jackson yang masih harus berjuang (lagi) agar bisa menelurkan sekuel berikutnya, atau The Host yang kurang mendapatkan antusiasme, Beautiful Creatures, dan Mortal Instruments : City of Bones. Yang paling baru dan akan segera dirilis, Divergent dengan komposisi cast yang menggoda. Tidak hanya sembarang, novel young adult yang bercerita tentang kisah asmara, young adult yang disebutkan diatas melibatkan sisi fantasi atau science fiction yang memang sangat digemari anak muda.

Nah The Hunger Games : Catching Fire merupakan salah satu contoh sukses dari adaptasi novel ke film. Keberhasilan film sebelumnya, predikat A-list untuk bintang utamanya serta marketing yang agresif di sepanjang tahun,membuat film ini menjadi salah satu  film yang paling ditunggu di tahun 2013, melengkapi penghujung tahun 2013 yang sepanjang tahunnya ditebari banyak film superhero pemancing pundi-pundi box office.

Ketika Katniss (Jennifer Lawrence) dan Peeta (Josh Hutcherson) pulang dengan selamat dari The Hunger Games ke 74, mereka kini harus melakukan tour ke 12 district dimana keadaan Panem sedang dalam kondisi labil pasca Katniss berhasil mencurangi sistem dengan menggunakan strategi “berry”nya. Melihat situasi yang tidak wajar, president Snow (Donald Sutherland) mengancam Katniss untuk meyakinkan warga Panem tentang kisah cintanya dengan Peetaagarmenjadi distraksi dari district yang menunjukkan indikasi pemberontakan, salah satunya Gale (Liam Hemsworth) yang mulai menunjukkan perlawanan terhadap ketidakadilan Capitol. Masih merasa terancam dengan keberadaan Katniss yang kini menjadi simbol harapan bagi warga Panem, Presiden Snow berkolaborasi dengan gamemaker terbarunya, Plutarch Heavensbee (Phillip Seymour Hoffman) untuk menyelenggarakan Quarter Queel. Quarter Quell sendiri pada intinya adalah The Hunger Games namun diikuti oleh pemenang dari periode selanjutnya, yap it’s all star The Hunger Games. Berbeda dengan pertandingan sebelumnya, Katniss dan Peeta harus berjuang melawan para kontestan terlatih seperti Finnick (Sam Clafin),pemenang The Hunger Games di usia 14 tahun, Johanna (Jena Malone) perempuan agresif, Beete dan Wires peserta yang dinilai paling cerdas, sampai tentu saja kontestan dari District 1 dan District 2 yang terkenal lethal. Dengan design cornucopia yang baru dan lebih mematikan, Katniss dan Peeta tidak mungkin bertahan sendiri, kini mereka harus beraliansi dengan peserta lain untuk dapat bertahan di Quarter Quell.

Berhasilkah mereka ?

This installment makes the previous one like a really “child play”, much better than its predecessor.

Pada awalnya sebenarnya sempat mengalami underestimate ketika mendengar kata “Quarter Quell”. Holy shit, they’re gonna show us sames stuff. Yeah, belum lagi Gary Ross yang kemudian keluar dari projek dan kemudian digantikan oleh Francis Lawrence yang mempunyai Filmography sebelumnya yang tidak terlalu impresive (I am not huge fanof Constantine, even Will Smith’s I am Legend). Untungnya saja, melihat screenwriter yang terlibat dan novel yang ternyata memiliki source story diluar Quarter Quell, membuat Catching Fire masih berada di urutan atas most anticipated movie in 2013. Dan setelh melihatnya sendiri, I gotta say I AM WRONG with all early expectation.

Catching Fire memulai ceritanya dengan begitu faithful dari sumber novelnya, terlihat runtut dan membuat penonton seakan-akan memang sedang membaca novelnya (hal ini menjadi hal yang penting untuk sebuah adaptasi novel ke film, terutama untuk para fans-nya). Jika The Hunger Games langsung terjun ke dalam reaping dan persiapan dari pertandingan mematikan tersebut, awal Catching Fire menunjukkan keadaan Panem (terutama District 12) yang masih saja dingin dan miskin pasca kemenangan Katniss. Catching Fire juga lebih mengeksplor kehidupan cinta Katniss dan Gale di tengah kehidupan palsunya dengan Peeta. Namun, sisi yang paling menarik adalah I gotta say, silent war yang mulai ditebarkan oleh President Snow sebagai karakter antagonist utama yang membuat sekuel ini lebih memiliki intrik dan perang strategi antara kubu Katniss dan Snow. Disinilah banyak hal ajaib terjadi (yeah, ajaib = smart thing).

Sisi menarik yang lain adalah character development yang dialami Katniss pasca The Hunger Games yang kini sedang mengalami trauma, terutama insiden Marvel dan Rue (dua tokoh yang membuat moment penting di film sebelumnya), diperankan pula oleh Jennifer Lawrence, lagi dan lagi, pasca piala Oscar-nya, Katniss versi Catching Fire ini cukup meng-embrace emosi yang terkadang menyentuh sekaligus mulai mengeluarkan sisi “memberontak”-nya, berbeda dengan Katniss versi The Hunger Games yang masih terlihat “shock” dan menerima sistem dari Capitol.

Film yang mempunyai budget dua kali dari film pertamanya ini sangat terlihat dari design Cornucopia yang lebih terlihat seperti hutan buatan dibandingkan dengan designnya pada The Hunger Games yang terlihat seperti hutan sungguhan. Disinilah sedikit sisi negatifnya, walaupun dengan budget lebih sedikit Cornucopia atau arena pertandingan di The Hunger Games lebih memiliki element of surprise and shocking yang bisa dirasakan penonton, maksudnya The Hunger Games terlihat lebih fresh untuk sajian “pertandingan mematikannya” (yah mungkin karena sedikit banyak Catching Fire memang repetisi dari The Hunger Games yang mempunyai premise menarik). Di sisi lain, Catching Fire memiliki sisi kompensasi lewat arena pertandingan yang bisa diakui lebih besar dan lebih canggih, namun yang paling menarik adalah arena ini memiliki teka-teki yang harus dipecahkan oleh para tribute karena menentukan strategi selanjutnya.

“Arena mahal” ini tidak akan disentuh hingga separuh durasi (yep, harus sabar menunggu), karena memang sepertinya film tidak ingin berkonsentrasi lagi pada konflik utama The Hunger Games-nya, inilah yang membedakan installment ini berbeda dari sebelumnya. Catching Fire lebih berkonsentrasi pada awal pemberontakan terhadap Capitol dan awal lahirnya leader mereka, Katniss Everdeen. Quarter Quell juga tidak lagi berkonsentrasi pada kompetisi antar peserta (walaupun konflik tersebut masih ada) namun lebih menunjukkan kerjasama diantara mereka untuk memecahkan “teka-teki” Cornucopia sebagai langkah survival. Buktinya, karakter Gloss, Cashmere, Enobaria dari District 1 dan 2 tidak dikenalkan secara intens selayaknya Cato dan Clove. Penggantinya, karakter lain yang ikut melakukan survival, dan termasuk well chosen cast, Finnick Odair yang berhasil ditampilkan oleh Sam Clafin, dan yang sedikit mencuri perhatian adalah karakter Johanna Mason yang diperankan oleh Jena Malone sebagai gadis pintar, agresif, impulsive, dan tanpa rasa takut.

Film ini diakhiri dengan sebuah adegan cliffhanger yang mungkin saja kurang disukai oleh beberapa orang, namun cliffhanger yang satu ini merupakan cliffhanger positif yang membuat kita puas dengan installment Catching Fire namun juga tidak sabar lagi menunggu installment selanjutnya, Mockingjays.

Intinya Catching Fire sudah tidak lagi berkutat tentang “siapa membunuh siapa” namun lebih bermain dengan adu strategy yang membuat sekuel ini terlihat lebih matang dan berisi. Plus, Francis Lawrence terlihat cukup pandai untuk mengolah film dengan durasi lebih dari dua jam menjadi sebuah sajian film dengan pacing yang enak, sekaligus nyaman untuk dinikmati.

Trivia

Taylor Kitsch sempat dipertimbangkan untuk karakter Finnick, Mia Wasikowaska sempat dipertimbangkan untuk karakter Johanna, serta Melissa Leo sempat dipertimbangkan untuk karakter Mags (mentor Finnick yang juga ikut dalam pertandingan).

Quote

President Snow: The other victors. Because of her, they all pose a threat. Because of her, they all think they’re invisible.

Salmon Fishing in The Yemen (2012) : Rom-com in Sheik’s ‘Impossible’ Project

Sutradara : Lasse Hallström

Penulis : Simon BeaufoyPaul Torday (novel)

Pemain : Ewan McGregorEmily Blunt and Kristin Scott Thomas

Tagline : Make The Improbable Possible

“Not like it’s boring title, this movie is good enough rom-com.”

About                                                     

Dengan jaminan penulis dari Slumdog Millionaire dan 127 Hours, ditambah sutradara yang kerap menggarap cerita melankolis seperti Dear John dan ditambah pemain-pemain yang sudah dikenal, film ini bercerita tentang sebuah projek visionary yang ingin diwujudkan seorang Syeik dengan bantuan Dr. Jones (Mcgregor) dan konsultannya, Harriet (diperankan Blunt). Sebuah projek mustahil dan penuh filosofi untuk membangun sebuah pemancingan di tengah gersangnya Yemen.  Keyakinan mereka diuji ketika masing-masing masalah pribadi dalam hidup mereka turut ikut campur dalam pembangunan projek ‘mustahil’ ini.  Ditambah intrik yang  turut diperankan oleh artis kawakan Kristin Scott Thomas yang memerankan tokoh eksentrik, Patricia Maxwell.

Nice chemistry, nice screenplay, cliché ending

Tidak seperti judulnya yang sudah berkesan membosankan, dua penampilan dari leading role British membuat komedi romantic ini terasa menyenangkan dan mengalir, ditambah cerita yang tidak hanya berkutat pada percintaan, namun dibumbui dengan hal-hal imliah dan intrik seputar projek ini membuat komedi romantic ini terasa berbeda dari cerita kebanyakan. Ditambah, penampilan Kristin Scott Thomas yang malah sering membawa jokes segar disertai dengan screenplay yang cerdas membuat film ini menjadi menyenangkan.

Hanya saja ending cerita ini terkesan sangat klise, mudah ditebak, dan kurang menunjukkan emosi karakter yang sebenarnya menjadi hal yang terlalu umum seperti pada film kebanyakan walaupun untuk penonton yang tidak berharap lebih, ending ini akan sangat memuaskan. Namun, karena film ini merupakan adaptasi dari novel, ending ini sangat menunjukkan sisi melankolis dari novel bersangkutan.

Quote

Dr. Alfred Jones       : It’s theoretically possible in the same way as a manned mission to Mars is theoretically possible.