Patrick Wilson

Insidious Chapter 2 (2013) : Haunted Lambert Family, Astral World and Its “Not Connect The Dots” Complex Story

Director : James Wan

Writer : James Wan, Leigh Whannell

Cast : Patrick WilsonRose ByrneBarbara Hershey, Lin Shaye

About

It’s not about haunting house. It’s you. Mimpi buruk yang dialami oleh keluarga Lambert belum juga berhenti, setelah pada versi originalnya, keluarga Lambert telah berhasil membangunkan anak mereka dari dunia astral, keluarga Lambert kembali berjuang untuk membuat kehidupan normal mereka kembali.

Setelah Insidious berakhir dengan cliffhanger ending ketika karakter Elise (Lin Shaye) ditemukan meninggal oleh Renai (Rose Byrne) dan meninggalkan Josh (Patrick Wilson), suaminya, sebagai tersangka utama. Josh mulai berubah perlakuannya terhadap Renai dan Renai sendiri mengira ada sesuatu yang terjadi pada diri Josh setelah petualangannya di dunia astral. Ketika mereka pindah ke rumah masa kecil Josh, bersama Ibu Josh (Barbara Hershey) ternyata haunting malah semakin menjadi-jadi dan kini mereka harus menggali kembali dunia astral dan masa lalu yang pernah terjadi.

“Too much effort to impress, and this is not smooth horror movie with real scare.”

Jika Insidious berhasil menjadi hit karena bisa menyajikan sesuatu yang baru, cerita yang segar, atau The Conjuring dengan beberapa moment efektifnya. Insidious Chapter 2 memiliki jalan cerita yang ambisius untuk lebih dalam memasuki dunia astral dan juga lebih menggali masa lalu dari Ibu Josh yang ternyata mempunyai keterkaitan. Hanya saja terdapat beberapa hal yang kurang mencengangkan di Insidious Chapter 2.

–          Insidious Chapter 2 kehilangan banyak proses instrument aneh yang mendebarkan seperti yang ada pada versi sebelumnya. Terdapat beberapa potensi, seperti permainan Hot and Cold, atau instrument telepon benang yang sebenarnya bisa menjadi alat untuk memompa adrenalin. Penggunaan alat-alat aneh di Insidious pertama hampir tidak ada, seperti micropohone dan headset atau kamera yang cukup efektif sebelumnya.

–          Pada Insidious ini sisi “kematian” tidak menjadi hal yang krusial lagi. Maksudnya, sebuah karakter bisa dimatikan kemudian dapat ditemui lagi di dunia astral. Membuat kematian bukanlah sesuatu yang ditakuti dan sepertinya hal tersebut salah satu hal yang fatal di film horor, kecuali horor komedi.

–          Berbicara tentang komedi, Insidious Chapter 2 memberikan sisi komedik lewat penampilan dua paranormal semi amatir, Specs and Tucker yang kebanyakan “miss” dan malah merusak suasana yang dibangun.

–          Jika pada Insidious pertama, dunia astral menjadi sesuatu yang fresh, sekaligus chilling untuk dijelajah, pada sekuelnya, dunia astral seakan-akan menjadi area yang friendly dan tidak menakutkan lagi.

–          Penampakan hantunya terkadang terlampau jelas, dan mereka berwujud manusia. Yah kalaua yang satu ini, jika tidak terlalu sering sih tidak apa-apa, namun terkadang penampakan mereka terlalu kasar.

–          Berbagai moment “menakut-nakuti” yang disertai scoring yang tiba-tiba keras kini tidak lagi efektif, seperti suara piano, suara dari alat penjaga bayi, kereta bayi yang berjalan sendiri, pada awal cerita, moment seperti membuat jalan cerita semakin lambat.

Tida fair jika hanya membahas sisi negatifnya saja, Insidious Chapter 2 juga mempunyai banyak sisi positif.

–          Penampilan Rose Byrne dan juga Patrick Wilson juga salah satu hantunya, bisa dikatakan meningkat jika dibandingkan dari Insidious pertama. Terutama Rose Byrne yang kini lebih terlihat depresi dan juga Patrick Wilson (dengan bantuan make-up) juga harus berakting dua karakter yangsungguh berbeda, and when he’s bad, he’s really kick it.

–          Dari segi cerita berubah menjadi dua sisi pisau, salah satu sisi, cerita berubah menjadi kompleks, dengan banyak merambah area dengan banyak “unanswered question” karena memang menyangkut dunia astral. Berbagai twist ditawarkan membuat Insidious Chapter 2 memiliki jalan cerita yang diatas rata-rata dari horor yang biasanya shallow. Di sisi yang lain, cerita yang kompleks ini menciptakan banyak pertanyaan, yaaah dapat dimaklumi berkaitan dengan dunia astral, tidak semuannya harus makes-sense, namun penonton setidaknya layak atas “proper-explanation”, tidak harus masuk akal, namun paling tidak “connecting the dots.”

–          Di tangan steady James Wan, untung saja, Insidious Chapter 2 memiliki alur yang begitu confident untuk diikuti, begitu solid, sehingga Insidious Chapter 2 terlepas dari banyaknya kekurangan masih menjadi tontonan hiburan yang bisa menghabiskan durasi.

–          Climax scene juga dibuat brutal, dan tanpa tanggung-tanggung terutama dari sisi “dunia realnya”, bagaimana Rose Byrne memperjuangkan kehidupannya dan juga anak-anaknya terlihat lebih thrilling, daripada usaha Patrick Wilson untuk “mematikan” iblis di dunia astral.

Yah screenplay yang terlalu ambisius dari Leigh Whannel (yang juga menulis Saw dengan banyak “unbelievable twist) dan juga terlalu membingungkan dikalahkan dengan cerita yang simple namun efektif jika dibandingkan dengan karya James Wan, The Conjuring, untunglah tangan James Wan menyelamatkan Insidious Chapter 2 dari bad movie menjadi really bad bad movie.

Trivia

Director cameo terlihat pada foto desktop komputer Spechs dan Tucker.

Quote

Elise Rainier : In my line of work things tend to happen when it gets dark.

The Conjuring (2013) : Based on True Case (X) Files of The Warrens

Director : James Wan

Writer : Chad HayesCarey Hayes

Cast : Vera FarmigaPatrick WilsonLili Taylor, Ron Livingston

About

Setelah keberhasilan beberapa teaser dan trailer dari The Conjuring yang terbukti efektif, ditambah dengan predikat rated R untuk film horror yang tidak mengandalkan gore, The Conjuring menjadi salah satu film horror yang memang ditunggu. Tidak hanya itu, reputasi “based on true story” dari Ed dan Lorraine Warren juga menambah nilai jual dari film ini. Reputasi sang sutradara pun cukup dinilai baik, lihat saja bagaimana James Wan menciptakan franchise Saw atau kesuksesannya membesut Insidious sampai akan dibuat prekuelnya, Insidious Chapter 2.

The Conjuring bercerita tentang keluarga Perron yang baru saja pindah ke sebuah farm-house, dan (seperti biasa) mereka mendapatkan gangguan dari alam lain, sehingga memaksa mereka untuk meminta bantuan dua dosen, paranormal, demotologist atau apapun itu bernama Ed dan Lorraine Warren yang memang telah berpengalaman di hal-hal gaib. Disebut sebagai satu kasus yang paling mengerikan yang dihadapi Warren, kasus ini terus disembunyikan sampai sekarang, sampai dibuat film, yang akan mengeruk berjuta dollar. Seemingly, it’s gonna take first spot at its first date release.

“I call it horror with a process, not quite impress me, but it’s still a good horror.”

Scene pembuka dari film ini sebenarnya cukup efektif dan sangat kental dengan horror klasik, dimana memang film ini mengambil setting di tahun 1970. Melibatkan boneka kayu bernama Isabelle yang jauh dari lucu memang mengingatkan kita pada boneka Chucky namun dengan gaya yang lebih elegan. Scene awal ini bukan perkenalan pada haunting house yang dialami keluarga Perron, melainkan lebih mengenalkan karakter utama dari Ed dan Lorraine Warren sebagai seorang ahli demotologist.

Beralih ke keluarga Perron, sepertinya James Wan bisa bersabar dalam membangun tensi dan terror. Walaupun sepertinya penonton (maksudnya gue) merasa plot begitu lambat karena tidak sabar untuk menyaksikan para setan beraksi. Ternyata tensi dan terror yang seakan-akan lambat ini merupakan salah satu bagian dari “selayaknya” kerangka berpikir dari film ini, James Wan tahu benar bagaimana cara menciptakan klimax dari film ini.

The Conjuring tidak berkonsentrasi pada misteri di balik rumah, namun melainkan “apa yang diinginkan setan-setan ini pada keluarga Perron” dan “bagaimana mekanisme mereka menjalankan teror’.  Beberapa peralatan dari Warren pastinya mengingatkan kita pada Insidious yang ternyata cukup efektif di film tersebut, namun di The Conjuring, peralatan-peralatan paranormal sepertinya lebih dibatasi.

Film yang berdasarkan cerita nyata dimana banyak tokoh yang terlibat masih hidup, seperti Lorraine Warren dan keluarga Perron ternyata mempunyai kelemahan. Berbeda dengan cerita yang berdasarkan cerita original, based on true story ini sedikit menjaga “reputasi” dari pihak yang terlibat sehingga sang penulis sepertinya menjadi terbatas, seperti untuk membunuh sebuah karakter atau sebagainya, yang sepertinya sudah lazim di film genre horror. Tapi itu bukan kelemahan yang “kelemahan” karena film ini mampu mengubah hal-hal klise yang biasanya ada di film horror dengan true terror dan tidak tanggung-tanggung membuat setan beraksi tanpa harus mengandalkan appearance mereka. Beberapa adegan yang inventive dan ekstrem yang dilakukan setan-setan ini sepertinya menunjukkan mereka tidak malu-malu lagi, dan itu menjadi salah satu hal yang positif yang membedakan film ini dibandingkan film yang sejenis. Namun sayang, beberapa best part dari film ini sudah bisa dilihat pada video teaser ataupun trailer yang menjadikan moment kurang surprising. So my advice is DON’T WATCH THE TEASER OR TRAILER OR READ MY REVIEW #eh.

Keempat actor utamanya pun (terutama Vera Varmiga) mampu memberikan penampilan mereka sesuai porsi. Vera Varmiga yang membawa nuansa “paranormal” dari aura Lorraine Warren sangat terasa, dan Lili Taylor yang juga bisa memberikan ekspresi sebagai pihak yang paling banyak diteror dan diintimidasi oleh para setan.

The last thing is I like a horror movie with no skeptic. It’s hurray HORROR !

Trivia

Film horror pertama yang memperoleh wide release di bulan Juli setelah remake The Omen di tahun 2006.

Quote

Lorraine Warren : You have a lot of spirits in here but there’s one that I’m most worried about, because it is so hateful.

Hard Candy (2005) : Not Just A Little Girl, A Guy Should Be Ready

Sutradara : David Slade

Penulis : Brian Nelson

Pemain : Ellen Page, Patrick Wilson, Sandra Oh

“Almost no gore, but some scenes are very intense with frills of very serious tone conversation which brings this as no mediocre thriller (though it’s restless pointless exploitation of torture).”

About

Bagi penggila film gore, thriller ataupun horror pasti telah menonton film independen yang satu ini. Film ini dibuka pada Sundance Film Festival di tahun 2005 dengan plot cerita yang unik dengan tidak biasa. Film berkisah tentang seorang gadis ‘misterius’, Hayley (Ellen Page), mengajak kencan seorang fotografer yang terpaut usia jauh diatasnya, Jeff (Patrick Wilson). Hayley sangatlah pintar berbicara, supel dan pintar, karakternya ini akan mengingatkan kita pada karakter Juno yang melambungkan nama Ellen Page dan menyabet nominasi Oscarnya, hingga di titik dia mengunjungi rumah Jeff. Di rumah Jeff inilah, Hayley mengeluarkan sosok aslinya dan memberi sebuah kejutan ‘kecil’ untuk Jeff yang ia duga seorang pedofilia.

Film ini digarap oleh sutradara yang biasanya memproduksi music video, David Slade dan merupakan film debutnya.

At some points of this movie, you’ll say big “Ouch !!!!”

Penampilan kedua leading role tentu saja lebih dari memuaskan, terutama Ellen Page dan depresi yang dialami Patrick Wilson saat adegan penyiksaan. Keduannya juga membawakan percakapan debat yang serius dengan sangat intens. Ellen Page membuka dirinya sebagai anak kecil yang penuh perhitungan dan serasa menyembunyikan sesuatu yang ia pendam, inilah yang akan menjadi misteri di sepanjang film, siapakah karakter Hayley Stark sebenarnya.

Film minim darah, tidak akan ada gore berlebihan, namun ada sebuah scene yang akan sangat intens, yaitu scene Ellen Page mengebiri Patrick Wilson dengan tangannya sendiri. Di sepanjang scene in, penonton akan dibuat ngilu, terutama jika cowok, penonton benar-benar merasakan apa yang dirasakan karakter Jeff terutama dari segi emosional. Namun hingga suatu titik mendekati ending, penonton akan dibuat “it’s like restless ending torture” dimana karakter Hayley kurang jelas menunjukkan point yang ingin ia ungkapkan, sekaligus sifat “masterplan dan mengetahui segala kemungkinan yang ada” membuat film ini kurang natural. Ketidakterjawabnya beberapa pertanyaan akan membuat penonton mengerutkan kening selepas menonton film ini.

Trivia

Baju yang dipakai Hayley Stark akan mengingatkan kita akan karakter Red Riding Hood, walaupun Ellen Page mengaku bahwa warna sebenarnya dari jaket itu adalah orange.

Quote

Hayley Stark : I am every little girl you ever watched, touched, hurt, screwed, killed.