One True Thing

One True Thing (1998) Balances Huge Sentimentality Trap with Its Wonderful Characters

Director : Carl Franklin

Writer : Anna QuindlenKaren Croner

Cast : Meryl StreepRenée ZellwegerWilliam HurtTom Everett Scott

“Your mother needs you, Ellen! Jesus Christ, you got a Harvard education, but where is your heart? – George Gulden

Streep’s Streak Challenge

(REVIEW) Mother, daughter, and father issue, plus cancer, wow that’s such a tearjerker material. Masa kanak-kanak seorang Ellen Gulden (Renee Zelweger) memang sangat normal, ia mempunyai saudara laki-laki (Tom Everett Scott), masih memiliki seorang Ibu (Meryl Streep) dan ayah yang benar-benar ia kagumi (William Hurt). Hanya saja sedari kecil sudah cukup terdapat distance yang dimiliki seorang Ellen Gulden akibat gap apresiasi yang ia lakukan terhadap ayahnya dan underapresiasi terhadap Ibunya. Inilah yang dibawa Ellen sampai ia beranjak dewasa. Ia mewarisi segala sifat ambisus, pekerja keras dari ayahnya, sedangkan Ibunya yang hanya seorang Ibu rumah tangga benar-benar invisible untuk dijadikan sebuah role of model.

Ellen Gulden kemudian harus merelakan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis, ketika ayahnya meminta dengan sangat untuknya kembali ke rumah, merawat Ibunya yang sedang sakit kanker stadium akhir, disinilah Ellen Gulden menjadi saksi hidup dan mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi di rumahnya selama bertahun-tahun.

One True Thing memang diperankan oleh dua aktris yang begitu berbakat di zamannya, namun film ini dijamin tidak akan memberikan penampilan yang terlalu meledak-ledak dari aktrisnya. Baik, Zellweger dan Streep tampil tenang sebagai Ibu dan anak, selalu terdapat jarak yang berusaha ditebar oleh Zellweger namun kemudian disertai dengan Streep yang seakan-akan menariknya kembali. Kekuatan Zellweger juga bisa mentransformasikan seorang Ellen Gulden yang bisa dikatakan mempunyai banyak traits kurang menyenangkan menjadi lebih lovable di layar, tanpa berusaha untuk menyerang Ibunya dengan kasar atau agresif, disinilah penampilan seorang Zellweger yang begitu kekeluargaan bisa membuat film ini bekerja sebagai film tentang keluarga. Lain lagi dengan Streep, yang ibaratkan memang sebagai guardian untuk menjaga satu keluarga ini tetap utuh. Penampilannya memang tidak sebrilian penampilannya yang lain, tidak ada body language berleihan, atau aksen suara, atau transformasi, Mery Streep hanyalah seorang Ibu yang menyayangi suami dan anak-anaknya. Sempat terlintas juga,apa sebenarnya yang membuat Oscar menominasikan penampilan Streep sebagai salah satu penampil leading role terbaik di masanya (walaupun juga Meryl Streep lebih cocok sebagai seorang supporting actress disini.)

This movie gives us powerful and wonderful characters than the perfomances itself. Nah, disinilah letak keistimewaan dari film yang satu ini. Dengan penampilan yang begitu minimalis, terdapat layer-layer dari karakternya yang berusaha dikupas sedikit demi sedikit dan semua melibatkan ketiga karakter utamanya. Ellen Gulden merupakan sebuah perwakilan dari “smart brain, but no heart”, dia bisa saja tampil vicious namun karakter lebih memilih untuk menunjukkan compassion. Ellen Gulden juga bisa dikatakan sebagai lembar kertas kosong yang mengalami misleading interpretation-nya terhadap karakter kedua orang tuanya. Terdapat pergeseran pandangan Ellen Gulden terhadap seorang sosok ayah dan ibu ini menjadi menarik, ketika jalan cerita mulai mengambil arah balik yang seketika juga menangkap perhatian penonton.

William Hurt sebagai George Gulden juga bisa men-transformasikan karakternya sebagai karakter yang mengundang simpati menjadi karakter yang mengambil alih peran antagonist di film ini. George Gulden merupakan pihak yang meng-confront karakter Ellen, namun kemudian dire-confront oleh sang Ibu Kate Gulden. Trik cerita seperti seakan-akan memberikan tetesan air lemon ke dalam sebuah gelas, membiarkan penonton untuk mencicipinya, namun kemudian memberikan gula dalam gelas tersebut, kemudian juga membiarkan penonton untuk menicicipinya.

Namun dari kedua peran Ellen dan George Gulden, Kate Gulden atau sang Ibu merupakan sebuah karakter pendukung namun membawa kunci revelation mengapa film ini begitu worth it untuk ditonton. Disinilah, jawaban mengapa Streep masih layak untuk dinominasikan di Oscars. Ketika Streep harus berperan sebagai seorang Ibu, apa yang kemudian dilakukannya ? Yeah, dia tetap memerankan karakternya sebagai seorang Ibu. Kate Gulden merupakan karakter kaya yang membawa pandangan bahwa menjadi sebagai seorang Ibu rumah tangga tidaklah mudah, it’s a career too. Kate Gulden tidak hanya mempertahankan pandangan ini terhadap keluarganya, namun juga kepada dunia yang menganggap Ibu rumah tangga bukanlah apa-apa. There’s a price in a stabil condition, and this mother pays for it. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah situasi, termasuk situasi yang damai, stabil, tanpa masalah, disinilah peran Ibu begitu aktif menjaga status quo dalam rumah tangga ini. It’s a daily war.

Sisi pelajaran tentang anak dan orang tua inilah yang membuat film ini lebih dari sekedar film penuh dengan sentimentalitas sakarin yang memicu air mata tapi masih terasa kosong. Penampilan yang minimalis, subtle, natural, insightful, kemudian menjadi pengisi film ini menjadi lebih berarti. This movie knows where exactly to put its heart.

Sisi negatifnya, mungkin film ini agak sedikit overlong dengan durasinya yang lebih dari 2 jam, jika saja film ini bisa diringkas sedikit saja, mungkin agak lebih menyenangkan untuk ditonton. Walaupun film ini juga tidak melupakan cara-cara untuk tetap menarik perhatian penonton di sepanjang film, salah satunya dengan mengambil pendekatan investigatif dengan cara scene-scene wawancara Ellen Gulden terhadap keadaan ibunya, yang kemudian ditutup dengan sebuah twist sederhana namun tetap kena di hati.