Sunlight Jr. (2013) : Reality Kills, Baby Bump In The Middle of “Shit Happens All Over Again”

Director : Laurie Collyer

Writer : Laurie Collyer

Cast : Naomi Watts, Matt Dillon, Norman Reedus

Comment for the poster : Look at that color tone. So warm, so hopeful, yeah, kind of ironic when that kind of thing doesn’t exist in the movie.

About
Melissa (Naomi Watts), seorang kasir di sebuah minimarket bernama Sunlight Junior harus bekerja keras shift demi shift dan menghadapi bosnya yang kurang ngajar, setiap saat, setiap waktu. Dia juga menghadapi dengan mantan pacarnya, Justin (Norman Reedus) yang terus mengikutinya. Disisi lain, Richie (Matt Dillon), seorang mantan kontraktor, dan penyandang disabilitas sehari-hari harus tinggal di motel kecil dan kumuh, sambil bekerja sebagai tukang reparasi elektronik. On top of that, dengan uang yang terbatas, tempat tinggal yang tidak layak, kurang adanya prospek ke masa depan, tiba-tiba Melissa hamil dan membuat situasi mereka berdua pun harus berubah, demi sang calon anak.

Personally, film ini termasuk out of radar, walaupun dibintangi aktris sekelas Naomi Watts.

Over authentic. It all ends bitter.

Sunlight, sinar matahari, mungkin jika kita harus menebak sunlight merepresentasikan apa, I am gonna go with “hope”. Yeah, harapan, prospek ke depan. Film ini terlihat begitu ironis dengan berani memakai sebuah judul yang begitu hopeful (ditambah dengan kata Junior), namun hampir sepanjang film storyline di film ini berkutat tentang sepasang kekasih yang harus menghadapi kenyataan demi kenyataan pahit tanpa adanya sebuah harapan perbaikan ke depan. Film ini jauh dari menyenangkan karena melibatkan banyak elemen hidup yang begitu “bitter”, lets say, pekerjaan yang memuakkan, bos yang menjengkelkan, disabilitas, mantan pacar yang stalker, orang tua yang tidak bisa diharapkan, tinggal di sebuah motel, dan masih banyak lagi. Yeah, mungkin beberapa orang menginterpretasikan sesuatu yang “pahit” ini sebagai sesuatu yang lebih real. Tanpa klise, atau bisa dikatakan there’s no happy ending in real life. In my personal opinion, something bitter doesn’t mean it must be real. Yeah, kenyataan tidak berjalan seperti itu. Jika dilihat dari segi ini, maka film ini hanya penuh dengan tekanan hidup satu ditambah dengan tekanan hidup yang lain. Where’s hope ? Where’s happines ? Where’s smile ?

Screenplay yang begitu “pahit menjalani hidup” ini beruntungnya diperankan oleh aktris dan aktor yang pada suatu titik masih memberikan hiburan pada penonton. Yeah, Naomi Watts and Matt Dillon are strong enough. Kedua aktor aktris ini sampai hampir tiga perempat durasi terus menebarkan pesona positif mereka seakan-akan menyeimbangkan jalan cerita yang terus ditempa oleh hal negatif. Chemistry keduannya juga berjalan menyenangkan bagaimana mereka menghadapi “bayi yang akan datang” dengan keceriaan, harapan, dan juga sepertinya mengharapkan bayi ini akan datang. Beberapa kesenangan kecil pun dihadirkan di film (most of them are sex scene). Yeah, sex scene digunakan sebagai ajang mencari hiburan dan kesenangan ketika kedua karakter utama dilanda banyak keterbatasan. Yeah, this scene works. Berbagai dialog-dialog yang memicu konflik namun kemudian di reverse menjadi sesuatu yang intim dan mesra juga dihadirkan. Hingga akhirnya, boom ! Film ini selayaknya kapal yang sudah bolong sana-sini dan menanti untuk meledak dan tenggelam. Karakter Richie juga lambat laun berubah menyerang karakter Melissa, membuat Naomi Watts harus berjuang sendiri untuk menarik perhatian penonton sampai akhir.

Potential roles yang disandang oleh Watts dan Dillon ini memang sepertinya bisa dikatakan sebagai “uji kemampuan” akting mereka. Strong but not powerful. Keduannya mengantarkan penampilan yang memikat. Melissa sebagai seorang wanita yang kuat, yang sudah tidak demanding lagi tentang kehidupan, hanya menjalani hari demi hari, dan beberapa harapan kecil agar hidupnya lebih baik. Sisi lain, Richie, penyandang cacat yang menyenangkan menjalani hari, kemudian harus berhadapan dengan situasi yang bertambah buruk walau keadaan fisiknya tidak bertambah baik. Kedua aktor aktris ini adalah penopang utama film ini, depressing, dan sisi baiknya, kedua aktor aktris ini mampu merangkul sisi “depresif” itu menjdi sebuah sisi yang bisa dilihat ketimbang penonton harus berkonsentrasi dengan jalannya cerita yang cenderung menunjuknnya sebagaimana jelek dan kejamnya kehidupan yang sebenarnya.

Wasted supporting role. Terdapat satu persamaan dengan berbagai karakter yang mengelilingi karakter utama. Justin, diperankan oleh zombie hunter kita, secara fisik Norman Reedus begitu menantang sebagai sisi mengancam dari kehidupan Melissa, namun seiring berjalannya cerita karakter ini sepertinya tiada guna. Ibu Mellisa, bos Melissa, yeah, semuannya hanya kontributor terhadap segala masalah yang harus dihadapi tokoh utama.

In the end, jika film ini ingin memperlihatkan sebuah gambaran masyarakat kelas bawah yang berjuang di pinggir kota, maka film ini terlalu berkonsentrasi pada hubungan Melissa-Richie tanpa mengijinkan pihak luar untuk mengambil porsi yang lebih besar (instead of all those mean-ness), namun jika film ini ingin memperlihatkan gejolak hubungan Melissa-Richie yang lebih internal, sepertinya juga kurang eksploratif.

Sebuah film yang berkonsentrasi pada sisi hidup yang depresif namun kurang bisa menikmati dan mengisi prosesnya. Over-authentic.

Trivia

Dirlis pada Tribeca Film Festival, bulan April 2013.

Quote

Woman : (on Melissa’s pregnancy) Oh well, good luck, or congratulation.

Leave a comment